Welcome

Welcome to the Namiroh Murinda Sari's Blog
Gaya semau gw....!!!!

Minggu, 02 Januari 2011

Systemic Lupus Erythematosus

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Dalam Kongres Internasional Lupus Sedunia di New York, awal Mei lalu, lebih dari 1200 peserta dari seluruh penjuru dunia hadir, baik dari kalangan medik, perawat, peneliti, maupun mereka yang terkena lupus. Dokter spesialis yang hadir pun beragam, seperti spesialis penyakit dalam, konsultan hematologi, rematologi, ginjal, spesialis kulit dan kebidanan. Organisasi ataupun perhimpunan orang dengan lupus juga hadir dari berbagai negara, dari Indonesia hadir Ketua Yayasan Lupus Indonesia (YLI) yang merupakan wakil satu-satunya dari perhimpunan serupa di Asia.
Untuk diketahui saat ini, ada lebih dari 5 juta pasien lupus di seluruh dunia dan setiap tahun ditemukan lebih dari 100.000 pasien baru, baik usia anak, dewasa, laki-laki, dan perempuan. Sebagian besar pasien lupus ditemukan pada perempuan usia produktif. Jumlah pasien di Indonesia yang secara tepat tidak diketahui diperkirakan paling tidak sama dengan jumlah pasien lupus di Amerika, yaitu 1.500.000 orang. Beberapa data menunjukkan insiden penyakit lupus ras Asia lebih tinggi dibandingkan dengan ras Kaukasia. Saat ini pasien lupus yang terdaftar sebagai anggota YLI ada 757 orang, sebagian besar berdomisili di Jakarta.
Salah satu tujuan proklamasi hari lupus sedunia adalah meningkatkan kualitas layanan dan mengatasi berbagai masalah yang dihadapi pengidap lupus. Masalah pertama adalah seringnya penyakit pasien terlambat diketahui dan diobati dengan benar karena cukup banyak dokter yang tidak mengetahui atau kurang waspada tentang gejala penyakit lupus dan dampak lupus terhadap kesehatan. Di Indonesia, rendahnya kompetensi dokter untuk mendiagnosis penyakit secara dini dan mengobati penyakit lupus dengan tepat tercermin dari pendeknya survival 10 tahun yang masih sekitar 50 persen, dibandingkan dengan negara maju, yang 80 persen.
Masalah berikutnya adalah belum terpenuhinya kebutuhan pasien lupus dan keluarganya tentang informasi, pendidikan, dan dukungan yang terkait dengan lupus. Dirasakan penting sekali meningkatkan kewaspadaan masyarakat tentang dampak buruk penyakit lupus terhadap kesehatan. Masalah lupus tidak hanya berdampak buruk pada kesehatan pasien, namun juga mempunyai dampak psikologi dan sosial yang cukup berat untuk pasien maupun keluarganya.
Penderita dengan SLE membutuhkan pengobatan dan perawatan yang tepat dan benar. Pengobatan pada penderita SLE ditujukan untuk mengatasi gejala dan induksi remisi serta mempertahankan remisi selama mungkin pada perkembangan penyakit. Karena manifestasi klinis yang sangat bervariasi maka pengobatan didasarkan pada manifestasi yang muncul pada masing-masing individu.
Dan Peran Perawat pada kasus halusinasi ini meliputi :
- Promotif ialah memberikan penyuluhan tentang penyakit SLE kepada individu,keluarga dan masyarakat.
- Preventiv ialah memberikan pendidikan tentang SLE kepada individu, keluarga dan masyarakat.
- Curativ ialah memberikan askep dengan pendekatan proses keperawatan baik untuk individu, keluarga dan masyarakat dengan menggunakan pendekatan manajemen keperawatan yang terdiri dari :
a. Perencanaan askep yang di susun oleh SDM
b. Pengorganisasian : metode pemberian askep berupa M. Fungsional, M. Kasus total, M tim, M keperawatan primer ( Gillies, 1989 ).
c. Pengarahan : Motivasi, manajement konflik, pendelegasian komunikasi.
d. Pengawasan dan pengendallian langsung dan tidak langsung.
- Rehabilitativ ialah memberikan kegiatan yang mempunyai efek positif terhadap SLE supaya tidak terulang dan mencegah faktor Genetik.
Berdasarkan data di atas yang melatarbelakangi kenapa kelompok kami mengambil SLE ( sistemik Lupus Erythematosus ) sebagai materi makalah kami.

1.1 Rumusan Masalah
Bagaimanakah tindakan perawat dalam melakukan proses keperawatan terhadap pasien yang menderita penyakit systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik (LES) ?

1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Setelah mempelajari atau membahas makalah ini kelompok dapat memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan masalah sistemics lupus erythematosus ( SLE ).
Tujuan Khusus
a. Mampu melakukan pengkajian pada klien dengan sistemics lupus ertythematosus ( SLE )
b. Mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada klien dengan sistemics lupus erythematosus ( SLE )
c. Mampu merencanakan tindakan keperwatan pada klien dengan sistemic lupus erythematosus ( SLE )
d. Mampu melaksanakan tindakan keperawatan pada klien dengan sistemics lupus erythematosus ( SLE )
e. Melaksanakan evaluasi keperawatan pada klien dengan sistemics lupus erythematosus( SLE)

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang bagaimana cara perawat dalam melakukan proses keperawatan.

Ruang Lingkup
Ruang lingkup dari makalah keperawatan dengan sistemics lupus erythematosus yaitu asuhan keperawatan pada klien dengan sistemics lupus erythematosus ( SLE )

1.5 Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah metode.
1. Research library yaitu pengambilan sumber dari buku-buku yang ada kaitannya dengan pembahasan atau studi pustaka.
2. Web search yaitu ialah pengambilan sumber dari internet yang ada hubunganya dengan sistemics lupus erythematosus ( SLE )







BAB II
TINJAUAN TEORI

2. Pengertian
Penyakit lupus adalah penyakit sistem daya tahan, atau penyakit auto imun, artinya tubuh pasien lupus membentuk antibodi yang salah arah, merusak organ tubuh sendiri, seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit. Antibodi seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri ataupun virus yang masuk ke dalam tubuh.
Lupus adalah penyakit yang disebabkan sistem imun menyerang sel-sel jaringan organ tubuh yang sehat. sistem imun yang terbentuk berlebihan. kelainan ini dikenal dengan autoimunitas. pada kasus satu penyakit ini bisa membuat kulit seperti ruam merah yang rasanya terbakar (lupus DLE). pada kasus lain ketika sistem imun yang berlebihan itu menyerang persendian dapat menyebabkan kelumpuhan (lupus SLE).
SLE (Sistemics lupus erythematosus) adalah penyakti radang multisistem yang sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik remisi dan eksaserbasi disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoimun dalam tubuh.
Dalam ilmu imunologi atau kekebalan tubuh, penyakit ini adalah kebalikan dari kanker atau HIV/AIDS. Pada Lupus, tubuh menjadi overacting terhadap rangsangan dari sesuatu yang asing dan membuat terlalu banyak antibodi atau semacam protein yang malah ditujukan untuk melawan jaringan tubuh sendiri. Dengan demikian, Lupus disebut sebagai autoimmune disease (penyakit dengan kekebalan tubuh berlebihan).
Jenis penyakit Lupus ini memiliki tiga macam bentuk, yang pertama yaitu Cutaneus Lupus, seringkali disebut discoid yang mempengaruhi kulit. Kedua, Systemic Lupus Erythematosus (SLE) yang menyerang organ tubuh seperti kulit, persendian, paru-paru, darah, pembuluh darah, jantung, ginjal, hati, otak, dan syaraf. Ketiga, Drug Induced Lupus(DIL), timbul karena menggunakan obat-obatan tertentu. Setelah pemakaian dihentikan, umumnya gejala akan hilang.
Dan biasanya odipus (orang hidup dengan lupus)akan menghinari hal-hal yang dapat membuat penyakitnya kambuh dengan :
1. Menghindari stress
2. Menjaga agar tidak langsung terkena sinar matahari
3. Mengurangi beban kerja yang berlebihan
4. menghindari pemakaian obat tertentu.
Odipus dapat memeriksakaan diri pada dokter2 pemerhati penyakit ini, dokter spesialis penyakit dalam konsultasi hematologi, rheumatology, ginjal, hipertensi, alergi imunologi, jika lupus dapat tertanggulangi, berobat dengan teratur, minum obat teratur yang di berikan oleh dokter (yang biasanya diminum seumur hidup), odipus akan dapat hidup layaknya orang normal.

2.1 Epidemiologi
SLE lebih banyak terjadi pada wanita daripada pria . Dengan perbandingan 10 : 1. Perbandingan ini menurun menjadi 3 : 2 pada lupus yang diinduksi oleh obat. Penyakit SLE juga menyerang penderita usia produktif yaitu 15 – 64 tahun. Meskipun begitu, penyakit ini dapat terjadi pada semua orang tanpa membedakan usia dan jenis kelamin (Delafuente, 2002). Prevalensi SLE berbeda – beda untuk tiap etnis yaitu etnis Afrika – Amerika mempunyai prevalensi sebesar 1 kasus per 2000 populasi, Cina 1 dalam 1000 populasi, 12 kasus per 100.000 populasi terjadi di Inggris, 39 kasus dalam 100.000 populasi terdapat di Swedia. Di New Zealand, terjadi perbedaan prevalensi antara etnis Polynesian sebanyak 50 kasus per 100.000 populasi dengan orang kulit putih sebesar 14,6 kasus dalam 100.000 populasi (Bartels, 2006).

2.2 Etiologi
Faktor genetik mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan dan ekspresi penyakit SLE. Sekitar 10% – 20% pasien SLE mempunyai kerabat dekat (first degree relative) yang menderita SLE. Angka kejadian SLE pada saudara kembar identik (24-69%) lebih tinggi daripada saudara kembar non-identik (2-9%). Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan antara lain haplotip MHC terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3, komponen komplemen yang berperan pada fase awal reaksi pengikatan komplemen yaitu C1q, C1r, C1s, C3, C4, dan C2, serta gen-gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin, dan sitokin (Albar, 2003) .
Faktor lingkungan yang menyebabkan timbulnya SLE yaitu sinar UV yang mengubah struktur DNA di daerah yang terpapar sehingga menyebabkan perubahan sistem imun di daerah tersebut serta menginduksi apoptosis dari sel keratonosit. SLE juga dapat diinduksi oleh obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut (Herfindal et al., 2000). Makanan seperti wijen (alfafa sprouts) yang mengandung asam amino L-cannavine dapat mengurangi respon dari sel limfosit T dan B sehingga dapat menyebabkan SLE (Delafuente, 2002). Selain itu infeksi virus dan bakteri juga menyebabkan perubahan pada sistem imun dengan mekanisme menyebabkan peningkatan antibodi antiviral sehingga mengaktivasi sel B limfosit nonspesifik yang akan memicu terjadinya SLE (Herfindal et al., 2000).
Penyakit Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) ini lebih kerap ditemui di kalangan kaum wanita. Ini menunjukkan bahwa hormon yang terdapat pada wanita mempunyai peranan besar, walau bagaimanapun perkaitan antara Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) dan hormon wanita saat ini masih dalam kajian. Penyakit Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) bukanlah suatu penyakit keturunan. Walau bagaimanapun, mewarisi gabungan gen tertentu meningkatkan lagi risiko seseorang itu mengidap penyakit Sistemik Lupus Erythematosus (SLE).

2.3 Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan autoimun yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan.
Pada SLE, peningkatan produksi autoimun diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.
Pada pasien SLE terjadi gangguan respon imun yang menyebabkan aktivasi sel B, peningkatan jumlah sel yang menghasilkan antibodi, hipergamaglobulinemia, produksi autoantibodi, dan pembentukan kompleks imun (Mok dan Lau, 2003). Aktivasi sel T dan sel B disebabkan karena adanya stimulasi antigen spesifik baik yang berasal dari luar seperti bahan-bahan kimia, DNA bakteri, antigen virus, fosfolipid dinding sel atau yang berasal dari dalam yaitu protein DNA dan RNA. Antigen ini dibawa oleh antigen presenting cells (APCs) atau berikatan dengan antibodi pada permukaan sel B. Kemudian diproses oleh sel B dan APCs menjadi peptida dan dibawa ke sel T melalui molekul HLA yang ada di permukaan. Sel T akan teraktivasi dan mengeluarkan sitokin yang dapat merangsang sel B untuk membentuk autoantibodi yang patogen. Interaksi antara sel B dan sel T serta APCs dan sel T terjadi dengan bantuan sitokin, molekul CD 40, CTLA-4 (Epstein, 1998).

2.4 Manifestasi Klinis
a. Sistem Muskuloskeletal
Artralgia, artritis (sinovitis), pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari.
b. Sistem integument
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi. Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
c. Sistem kardiak
Perikarditis merupakan manifestasi kardiak.
d. Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.

e. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
f. Sistem perkemihan
Glomerulus renal yang biasanya terkena.
g. Sistem saraf
Spektrum gangguan sistem saraf pusat sangat luas dan mencakup seluruh bentuk penyakit neurologik, sering terjadi depresi dan psikosis.
h. Sistem Hematologi
Anemia yang terjadi akibat inflamasi kronik pada sebagian besar pasien saat lupusnya aktif
Manifestasi klinik secara umum yang sering timbul pada pasien SLE adalah rasa lelah, malaise, demam, penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan (Hahn, 2005). Gejala muskuloskeletal berupa artritis, atralgia, dan mialgia umumnya timbul mendahului gejala yang lain. Yang paling sering terkena adalah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut, pergelangan tangan, metakarpofalangeal, siku, dan pergelangan kaki (Delafuente, 2002).

2.5 Evaluasi Diagnostik
Pemeriksaan untuk menentukan adanya penyakit ini bervariasi, diantaranya:
a) Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah bisa menunjukkan adanya antibodi antinuklear, yang terdapat pada hampir semua penderita lupus. Tetapi antibodi ini juga juga bisa ditemukan pada penyakit lain. Karena itu jika menemukan antibodi antinuklear, harus dilakukan juga pemeriksaan untuk antibodi terhadap DNA rantai ganda. Kadar yang tinggi dari kedua antibodi ini hampir spesifik untuk lupus, tapi tidak semua penderita lupus memiliki antibodi ini. Pemeriksaan darah untuk mengukur kadar komplemen (protein yang berperan dalam sistem kekebalan) dan untuk menemukan antibodi lainnya, mungkin perlu dilakukan untuk memperkirakan aktivitas dan lamanya penyakit.
b) Ruam kulit atau lesi yang khas.
c) Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis.
d) Pemeriksaan dada dengan bantuan stetoskop menunjukkan adanya gesekan pleura atau jantung.
e) Analisa air kemih menunjukkan adanya darah atau protein lebih dari 0,5 mg/hari atau +++.
f) Hitung jenis darah menunjukkan adanya penurunan beberapa jenis sel darah.
g) Biopsi ginjal.
h) Pemeriksaan saraf.

2.6 Penatalaksanaan Medis
Tujuan dari pengobatan SLE adalah untuk mengurangi gejala penyakit, mencegah terjadinya inflamasi dan kerusakan jaringan, memperbaiki kualitas hidup pasien, memperpanjang ketahanan pasien, memonitor manifestasi penyakit, menghindari penyebaran penyakit, serta memberikan edukasi kepada pasien tentang manifestasi dan efek samping dari terapi obat yang diberikan. Karena banyaknya variasi dalam manifestasi klinik setiap individu maka pengobatan yang dilakukan juga sangat individual tergantung dari manifestasi klinik yang muncul. Pengobatan SLE meliputi terapi nonfarmakologi dan terapi farmakologi (Herfindal et al., 2000).
2.6.1 Terapi Nonfarmakologi
Pada sinar matahari ketika akan beraktivitas di luar rumah (Delafuente, 2002). Gejala yang sering muncul pada penderita SLE adalah lemah sehingga diperlukan keseimbangan antara istirahat dan kerja, dan hindari kerja yang terlalu berlebihan. Penderita SLE sebaiknya menghindari merokok karena hidrasin dalam tembakau diduga juga merupakan faktor lingkungan yang dapat memicu terjadinya SLE. Tidak ada diet yang spesifik untuk penderita SLE (Delafuente, 2002). Tetapi penggunaan minyak ikan pada pasien SLE yang mengandung vitamin E 75 IU and 500 IU/kg diet dapat menurunkan produksi sitokin proinflamasi seperti IL-4, IL-6, TNF-a, IL-10, dan menurunkan kadar antibodi anti-DNA (Venkatraman et al., 1999). Penggunaan sunblock (SPF 15) dan menggunakan pakaian tertutup untuk penderita SLE sangat disarankan untuk mengurangi paparan sinar UV.
2.6.2 Terapi Farmakologi
Terapi farmakologi untuk SLE ditujukan untuk menekan sistem imun dan mengatasi inflamasi. Umumnya pengobatan SLE tergantung dari tingkat keparahan dan lamanya pasien menderita SLE serta manifestasi yang timbul pada setiap pasien.
2.6.3 NSAID
Merupakan terapi utama untuk manifestasi SLE yang ringan termasuk salisilat dan NSAID yang lain (Delafuente, 2002). NSAID memiliki efek antipiretik, antiinflamasi, dan analgesik (Neal, 2002). NSAID dapat dibedakan menjadi nonselektif COX inhibitor dan selektif COX-2 inhibitor. Nonselektif COX inhibitor menghambat enzim COX-1 dan COX-2 serta memblok asam arakidonat. COX-2 muncul ketika terdapat rangsangan dari mediator inflamasi termasuk interleukin, interferon, serta tumor necrosing factor sedangkan COX-1 merupakan enzim yang berperan pada fungsi homeostasis tubuh seperti produksi prostaglandin untuk melindungi lambung serta keseimbangan hemodinamik dari ginjal. COX-1 terdapat pada mukosa lambung, sel endotelial vaskular, platelet, dan tubulus collecting renal (Katzung, 2002). Efek samping penggunaan NSAID adalah perdarahan saluran cerna, ulser, nefrotoksik, kulit kemerahan, dan alergi.
2.6.4 Diet
Restriksi diet ditentukan oleh terapi yang diberikan. Sebagian besar pasien memerlukan kortikosteroid, dan saat itu diet yang diperbolehkan adalah yang mengandung cukup kalsium, rendah lemak, dan rendah garam. Pasien disarankan berhati-hati dengan suplemen makanan dan obat tradisional.
Aktivitas
Pasien lupus sebaiknya tetap beraktivitas normal. Olahraga diperlukan untuk mempertahankan densitas tulang dan berat badan normal. Tetapi tidak boleh berlebihan karena lelah dan stress sering dihubungkan dengan kekambuhan. Pasien disarankan untuk menghindari sinar matahari, bila terpaksa harus terpapar matahari harus menggunakan krim pelindung matahari (waterproof sunblock) setiap 2 jam. Lampu fluorescence juga dapat meningkatkan timbulnya lesi kulit pada pasien SLE.
Obat lain
Obat-obat lain yang digunakan pada terapi penyakit SLE antara lain adalah azatioprin, intravena gamma globulin, monoklonal antibodi, terapi hormon, mikofenolat mofetil dan pemberian antiinfeksi.



BAB III
Asuhan Keperawatan

A. Pengkajian
1. Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan pada gejala sekarang dan gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah, lemah, nyeri, kaku, demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra diri pasien.
2. Kulit
Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.
3. Sistem Kardiovaskuler
Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura.
Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tanga.
4. Sistem Muskuloskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari.
5. Sistem Integumen
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi. Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
6. Sistem Pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
7. Sistem Vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
8. Sistem Renal
Edema dan hematuria.
9. Sistem Saraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea ataupun manifestasi SSP lainnya.

B.Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.
2. Keletihan berhubungan dengan peningkatan aktivitas penyakit, rasa nyeri, depresi.
3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan penurunan rentang gerak, kelemahan otot, rasa nyeri pada saat bergerak, keterbatasan daya tahan fisik.
4. Kerusakan mobilitas fisik berhubungqan dengan perubahan dan ketergantungan fisaik serta psikologis yang diakibatkan penyakit kronik.
5. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit, penumpukan kompleks imun

C.Intervensi
1. Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.
Tujuan : perbaikan dalam tingkat kennyamanan
Intervensi :
a. Laksanakan sejumlah tindakan yang memberikan kenyamanan (kompres panas /dingin, masase, perubahan posisi, istirahat; kasur busa, bantal penyangga, bidai, teknik relaksasi, aktivitas yang mengalihkan perhatian)
b. Berikan preparat antiinflamasi, analgesik seperti yang dianjurkan.
c. Sesuaikan jadwal pengobatan untuk memenuhi kebutuhan pasien terhadap penatalaksanaan nyeri.
d. Dorong pasien untuk mengutarakan perasaannya tentang rasa nyeri serta sifat kronik penyakitnya.
e. Jelaskan patofisiologik nyeri dan membantu pasien untuk menyadari bahwa rasa nyeri sering membawanya kepada metode terapi yang belum terbukti manfaatnya.
f. Bantu dalam mengenali nyeri kehidupan seseorang yang membawa pasien untuk memakai metode terapi yang belum terbukti manfaatnya.
g. Lakukan penilaian terhadap perubahan subjektif pada rasa nyeri.

2. Keletihan berhubungan dengan peningkatan aktivitas penyakit, rasa nyeri, depresi.
Tujuan : mengikutsertakan tindakan sebagai bagian dari aktivitas hidup sehari-hari yang diperlukan.
Intervensi :
a. Beri penjelasan tentang keletihan :
- Hubungan antara aktivitas penyakit dan keletihan
- Menjelaskan tindakan untuk memberikan kenyamanan sementara melaksanakannya
- Mengembangkan dan mempertahankan tindakan rutin unutk tidur (mandi air hangat dan teknik relaksasi yang memudahkan tidur)
- Menjelaskan pentingnya istirahat untuk mengurangi stres sistemik, artikuler dan emosional
- Menjelaskan cara mengggunakan teknik-teknik untuk menghemat tenaga
- Kenali faktor-faktor fisik dan emosional yang menyebabkan kelelahan.
b. Fasilitasi pengembangan jadwal aktivitas/istirahat yang tepat.
c. Dorong kepatuhan pasien terhadap program terapinya.
d. Rujuk dan dorong program kondisioning.
e. Dorong nutrisi adekuat termasuk sumber zat besi dari makanan dan suplemen.

3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan rentang gerak, kelemahan otot, rasa nyeri pada saat bergerak, keterbatasan daya tahan fisik.
Tujuan : mendapatkan dan mempertahankan mobilitas fungsional yang optimal.
Intervensi :
a. Dorong verbalisasi yang berkenaan dengan keterbatasan dalam mobilitas.
b. Kaji kebutuhan akan konsultasi terapi okupasi/fisioterapi :
- Menekankan kisaran gherak pada sendi yang sakit
- Meningkatkan pemakaian alat Bantu
- Menjelaskan pemakaian alas kaki yang aman.
- Menggunakan postur/pengaturan posisi tubuh yang tepat.
c. Bantu pasien mengenali rintangan dalam lingkungannya.
d. Dorong kemandirian dalam mobilitas dan membantu jika diperlukan
- Memberikan waktu yang cukup untuk melakukan aktivitas
- Memberikan kesempatan istirahat sesudah melakukan aktivitas
- Menguatkan kembali prinsip perlindungan sendi

4. Gangguan citra tubuh berhubungqan dengan perubahan dan ketergantungan fisik serta psikologis yang diakibatkan penyakit kronik.
Tujuan : mencapai rekonsiliasi antara konsep diri dan erubahan fisik serta psikologik yang ditimbulkan penyakit
Intervensi :
a. Bantu pasien untuk mengenali unsur-unsur pengendalian gejala penyakit dan penanganannya.
b. Dorong verbalisasi perasaan, persepsi dan rasa takut
- Membantu menilai situasi sekarang dan menganli masahnya.
- Membantu menganli mekanisme koping pada masa lalu.
- Membantu mengenali mekanisme koping yang efektif.

5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit, penumpukan kompleks imun.
Tujuan : pemeliharaan integritas kulit.
Intervensi :
a. Lindungi kulit yang sehat terhadap kemungkinan maserasi
b. Hilangkan kelembaban dari kulit
c. Jaga dengan cermat terhadap resiko terjadinya sedera termal akibat penggunaan kompres hangat yang terlalu panas.
d. Nasehati pasien untuk menggunakan kosmetik dan preparat tabir surya.
e. Kolaborasi pemberian NSAID dan kortikosteroid.

D.Evaluasi
Evaluasi adalah merupakan salah satu alat untuk mengukur suatu perlakuan atau tindakan keperawatan terhadap pasien. Dimana evaluasi ini meliputi evaluasi formatif / evaluasi proses yang dilihat dari setiap selesai melakukan implementasi yang dibuat setiap hari sedangkan evaluasi sumatif / evaluasi hasil dibuat sesuai dengan tujuan yang dibuat mengacu pada kriteria hasil yang diharapkan. Adapunevaluasi yang di harapkan pada klien dengan kasus SLE ( Sistemisc lupus erythematosus ) ialah :
a. Skala nyeri normal dan nyeri berkurang.
b. Aktivitas sehari – hari teratur sesuai kebutuhan dan di sesuaikan dengan kondisi klien.
c. Klien dapat melakukan imobilisasi dalam memenuhi kegiatan sehari – harinya.
d. Integritas kulit kembali normal ( Elastis, Halus dan bersih ).
e. Klien mengerti dan menerima terhadap penyakitnya.






















BABIV
Kesimpulan

A. Kesimpulan
Sistemisc lupus erythematosus ( SLE ) adalah penyakti radang multisistem yang sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik remisi dan eksaserbasi disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoantibodi dalam tubuh adapun tanda dan gejalanya seperti sistem muskuloskeletal, sistem integumen, sistem kardiak, sistem pernapasan, sistem vaskuler, sistem perkemihan, sistem saraf adapun untuk pengobatannya seperti
- Preparat NSAID untuk mengatasi manifestasi klinis minor dan dipakai bersama kortikosteroid, secara topikal untuk kutaneus.
- Obat antimalaria untuk gejal kutaneus, muskuloskeletal dan sistemik ringan SLE
- Preparat imunosupresan (pengkelat dan analog purion) untuk fungsi imun.

B. Saran
Sebagai tenaga propesional tindakan perawat dalam penanganan masalah keperawatan khususnya sistemics lupus erythematosus ( SLE ) harus di bekali dengan pengetahuan yang luas dan tindakan yang di lakukan harus rasional sesuai gejala penyakit.





Daftar Pustaka

http.www.google/sistemics lupus erythematosus.com
MD. Daniel J.Wallace.THE LUPUS BOOK.B first.2007 Jogjakarta
Doenges, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC.
http://www.supari.com
Smeltzer. Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Edisi 8. Volume 3. Jakarta : EGC.
http://perawattegal.wordpress.com/2009/09/01/systemic-lupus-erytematosus-sle-atau-lupus-eritematosus-sistemik-les/
http://wikimediafoundation.org/w/index.php?title=WMFJA026/id&utm_source=20101215_JA013C_US&utm_medium=sitenotice&utm_campaign=20101216JA030&country_code=ID&referrer=http%3A%2F%2Fid.wikipedia.org%2Fwiki%2FLupus_eritematosus_sistemik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar