Welcome

Welcome to the Namiroh Murinda Sari's Blog
Gaya semau gw....!!!!

Minggu, 02 Januari 2011

ASKEP DIARE

• Pengertian
Menurut Haroen N, S. Suraatmaja dan P.O Asdil (1998), diare adalah defekasi encer lebih dari 3 kali sehari dengan atau tanpa darah atau lendir dalam tinja.
Sedangkan menurut C.L Betz & L.A Sowden (1996) diare merupakan suatu keadaan terjadinya inflamasi mukosa lambung atau usus.
Menurut Suradi & Rita (2001), diare diartikan sebagai suatu keadaan dimana terjadinya kehilangan cairan dan elektrolit secara berlebihan yang terjadi karena frekuensi buang air besar satu kali atau lebih dengan bentuk encer atau cair.
Jadi diare dapat diartikan suatu kondisi, buang air besar yang tidak normal yaitu lebih dari 3 kali sehari dengan konsistensi tinja yang encer dapat disertai atau tanpa disertai darah atau lendir sebagai akibat dari terjadinya proses inflamasi pada lambung atau usus.
• Penyebab
Menurut Haroen N.S, Suraatmaja dan P.O Asnil (1998), ditinjau dari sudut patofisiologi, penyebab diare akut dapat dibagi dalam dua golongan yaitu:
1. Diare sekresi (secretory diarrhoe), disebabkan oleh:
• Infeksi virus, kuman-kuman patogen dan apatogen seperti shigella, salmonela, E. Coli, golongan vibrio, B. Cereus, clostridium perfarings, stapylococus aureus, comperastaltik usus halus yang disebabkan bahan-bahan kimia makanan (misalnya keracunan makanan, makanan yang pedas, terlalau asam), gangguan psikis (ketakutan, gugup), gangguan saraf, hawa dingin, alergi dan sebagainya.
• Defisiensi imum terutama SIGA (secretory imonol bulin A) yang mengakibatkan terjadinya berlipat gandanya bakteri/flata usus dan jamur terutama canalida.
2. Diare osmotik (osmotik diarrhoea) disebabkan oleh:
• malabsorpsi makanan: karbohidrat, lemak (LCT), protein, vitamin dan mineral.
• Kurang kalori protein.
• Bayi berat badan lahir rendah dan bayi baru lahir.

• Patofisiologi
Mekanisme dasar yang menyebabkan diare ialah yang pertama gangguan osmotik, akibat terdapatnya makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus meninggi, sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit kedalam rongga usus, isi rongga usus yang berlebihan ini akan merangsang usus untuk mengeluarkannya sehingga timbul diare.
Kedua akibat rangsangan tertentu (misalnya toksin) pada dinding usus akan terjadi peningkatan sekali air dan elektrolit ke dalam rongga usus dan selanjutnya diare timbul karena terdapat peningkatan isi rongga usus.
Ketiga gangguan motalitas usus, terjadinya hiperperistaltik akan mengakibatkan berkurangnya kesempatan usus untuk menyerap makanan sehingga timbul diare sebaliknya bila peristaltik usus menurun akan mengakibatkan bakteri timbul berlebihan yang selanjutnya dapat menimbulkan diare pula.
Selain itu diare juga dapat terjadi, akibat masuknya mikroorganisme hidup ke dalam usus setelah berhasil melewati rintangan asam lambung, mikroorganisme tersebut berkembang biak, kemudian mengeluarkan toksin dan akibat toksin tersebut terjadi hipersekresi yang selanjutnya akan menimbulkan diare.
Sedangkan akibat dari diare akan terjadi beberapa hal sebagai berikut:
1. Kehilangan air (dehidrasi)
Dehidrasi terjadi karena kehilangan air (output) lebih banyak dari pemasukan (input), merupakan penyebab terjadinya kematian pada diare. Gangguan keseimbangan asam basa (metabik asidosis). Hal ini terjadi karena kehilangan Na-bicarbonat bersama tinja. Metabolisme lemak tidak sempurna sehingga benda kotor tertimbun dalam tubuh, terjadinya penimbunan asam laktat karena adanya anorexia jaringan. Produk metabolisme yang bersifat asam meningkat karena tidak dapat dikeluarkan oleh ginjal (terjadi oliguria/anuria) dan terjadinya pemindahan ion Na dari cairan ekstraseluler kedalam cairan intraseluler.
2. Hipoglikemia
Hipoglikemia terjadi pada 2-3% anak yang menderita diare, lebih sering pada anak yang sebelumnya telah menderita KKP. Hal ini terjadi karena adanya gangguan penyimpanan/penyediaan glikogen dalam hati dan adanya gangguan absorbsi glukosa.Gejala hipoglikemia akan muncul jika kadar glukosa darah menurun hingga 40 mg% pada bayi dan 50% pada anak-anak. Gangguan gizi
3. Terjadinya penurunan berat badan dalam waktu singkat, hal ini disebabkan oleh:
• Makanan sering dihentikan oleh orang tua karena takut diare atau muntah yang bertambah hebat.
• Walaupun susu diteruskan, sering diberikan dengan pengeluaran dan susu yang encer ini diberikan terlalu lama.
• Makanan yang diberikan sering tidak dapat dicerna dan diabsorbsi dengan baik karena adanya hiperperistaltik.
4. Gangguan sirkulasi
Sebagai akibat diare dapat terjadi renjatan (shock) hipovolemik, akibatnya perfusi jaringan berkurang dan terjadi hipoksia, asidosis bertambah berat, dapat mengakibatkan perdarahan otak, kesadaran menurun dan bila tidak segera diatasi klien akan meninggal.

• Manifestasi Klinis Diare
1. Mula-mula anak/bayi cengeng gelisah, suhu tubuh mungkin meningkat, nafsu makan berkurang.
2. Sering buang air besar dengan konsistensi tinja cair atau encer, kadang disertai wial dan wiata.
3. Warna tinja berubah menjadi kehijau-hijauan karena bercampur empedu.
4. Anus dan sekitarnya lecet karena seringnya difekasi dan tinja menjadi lebih asam akibat banyaknya asam laktat.
5. Terdapat tanda dan gejala dehidrasi, turgor kulit jelas (elistitas kulit menurun), ubun-ubun dan mata cekung membran mukosa kering dan disertai penurunan berat badan.
6. Perubahan tanda-tanda vital, nadi dan respirasi cepat tekan darah turun, denyut jantung cepat, pasien sangat lemas, kesadaran menurun (apatis, samnolen, sopora komatus) sebagai akibat hipovokanik.
7. Diuresis berkurang (oliguria sampai anuria).
8. Bila terjadi asidosis metabolik klien akan tampak pucat dan pernafasan cepat dan dalam. (Kusmaul).

• Pemeriksaan diagnostik :
Pemeriksaan tinja
• Makroskopis dan mikroskopis
• PH dan kadar gula dalam tinja
• Bila perlu diadakan uji bakteri
1. Pemeriksaan gangguan keseimbangan asam basa dalam darah, dengan menentukan PH dan cadangan alkali dan analisa gas darah.
2. Pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin untuk mengetahui faal ginjal.
3. Pemeriksaan elektrolit terutama kadar Na, K, Kalsium dan Posfat.
• Komplikasi
1. Dehidrasi (ringan, sedang, berat, hipotonik, isotonik atau hipertonik).
2. Renjatan hipovolemik.
3. Hipokalemia (dengan gejala mekorismus, hiptoni otot, lemah, bradikardi, perubahan pada elektro kardiagram).
4. Hipoglikemia.
5. Introleransi laktosa sekunder, sebagai akibat defisiensi enzim laktase karena kerusakan vili mukosa, usus halus.
6. Kejang terutama pada dehidrasi hipertonik.
7. Malnutrisi energi, protein, karena selain diare dan muntah, penderita juga mengalami kelaparan.
• Derajat dehidrasi
Menurut banyaknya cairan yang hilang, derajat dehidrasi dapat dibagi berdasarkan:
• Kehilangan berat badan
• Tidak ada dehidrasi, bila terjadi penurunan berat badan 2,5%.
• Dehidrasi ringan bila terjadi penurunan berat badan 2,5-5%.
• Dehidrasi berat bila terjadi penurunan berat badan 5-10%

• 7 jam berikut : 10 ml/kgBB/jam atau 2,5 tts/kgBB/mnt (1 ml=15 tts atau 3 tts/kgBB/menit (1 ml=20 tetes). Pentalaksanaan
1. Medis
Dasar pengobatan diare adalah:
• Pemberian cairan, jenis cairan, cara memberikan cairan, jumlah pemberiannya.
• Cairan per oral
Pada klien dengan dehidrasi ringan dan sedang diberikan peroral berupa cairan yang bersifat NaCl dan NaHCO 3 dan glukosa. Untuk diare akut dan kolera pada anak diatas 6 bulan kadar Natrium 90 mEg/l. Pada anak dibawah umur 6 bulan dengan dehidrasi ringan-sedang kadar natrium 50-60 mEg/l. Formula lengkap disebut oralit, sedangkan larutan gula garam dan tajin disebut formula yang tidak lengkap karena banyak mengandung NaCl dan sukrosa.
• Cairan parentral
Diberikan pada klien yang mengalami dehidrasi berat, dengan rincian sebagai berikut:
• Untuk anak umur 1 bl-2 tahun berat badan 3-10 kg
• 1 jam pertama : 40 ml/kgBB/menit= 3 tts/kgBB/mnt (infus set berukuran 1 ml=15 tts atau 13 tts/kgBB/menit (set infus 1 ml=20 tetes).
• 7 jam berikutnya : 12 ml/kgBB/menit= 3 tts/kgBB/mnt (infusset berukuran 1 ml=15 tts atau 4 tts/kgBB/menit (set infus 1 ml=20 tetes).
• 16 jam berikutnya : 125 ml/kgBB/ oralit
• Untuk anak lebih dari 2-5 tahun dengan berat badan 10-15 kg
• 1 jam pertama : 30 ml/kgBB/jam atau 8 tts/kgBB/mnt (1 ml=15 tts atau 10 tts/kgBB/menit (1 ml=20 tetes).
• Untuk anak lebih dari 5-10 tahun dengan berat badan 15-25 kg
• 1 jam pertama : 20 ml/kgBB/jam atau 5 tts/kgBB/mnt (1 ml=15 tts atau 7 tts/kgBB/menit (1 ml=20 tetes).
• 16 jam berikut : 105 ml/kgBB oralit per oral.
• Untuk bayi baru lahir dengan berat badan 2-3 kg
• Kebutuhan cairan: 125 ml + 100 ml + 25 ml = 250 ml/kg/BB/24 jam, jenis cairan 4:1 (4 bagian glukosa 5% + 1 bagian NaHCO 3 1½ %.
Kecepatan : 4 jam pertama : 25 ml/kgBB/jam atau 6 tts/kgBB/menit (1 ml = 15 tts) 8 tts/kg/BB/mt (1mt=20 tts).
• Untuk bayi berat badan lahir rendah
Kebutuhan cairan: 250 ml/kg/BB/24 jam, jenis cairan 4:1 (4 bagian glukosa 10% + 1 bagian NaHCO 3 1½ %).
• Pengobatan dietetik
Untuk anak dibawah 1 tahun dan anak diatas 1 tahun dengan berat badan kurang dari 7 kg, jenis makanan:
• Susu (ASI, susu formula yang mengandung laktosa rendah dan lemak tak jenuh
• Makanan setengah padat (bubur atau makanan padat (nasi tim)
• Susu khusus yang disesuaikan dengan kelainan yang ditemukan misalnya susu yang tidak mengandung laktosa dan asam lemak yang berantai sedang atau tak jenuh.
• Obat-obatan
Prinsip pengobatan menggantikan cairan yang hilang dengan cairan yang mengandung elektrolit dan glukosa atau karbohidrat lain.
1. Keperawatan
Masalah klien diare yang perlu diperhatikan ialah resiko terjadinya gangguan sirkulasi darah, kebutuhan nutrisi, resiko komplikasi, gangguan rasa aman dan nyaman, kurangnya pengetahuan orang tua mengenai proses penyakit.
Mengingat diare sebagian besar menular, maka perlu dilakukan penataan lingkungan sehingga tidak terjadi penularan pada klien lain.
• Data fokus
• Hidrasi
• Turgor kulit
• Membran mukosa
• Asupan dan haluaran
• Abdomen
• Nyeri
• Kekauan
• Bising usus
• Muntah-jumlah, frekuensi dan karakteristik
• Feses-jumlah, frekuensi, dan karakteristik
• Kram
• Tenesmus
• Diagnosa keperawatan
• Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan ketidakseimbangan antara intake dan out put.
• Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan kontaminasi usus dengan mikroorganisme.
• Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan iritasi yang disebabkan oleh peningkatan frekuensi BAB.
• Cemas berhubungan dengan perpisahan dengan orang tua, tidak mengenal lingkungan, prosedur yang dilaksanakan.
• Kecemasan keluarga berhubungan dengan krisis situasi atau kurangnya pengetahuan.
• Intervensi
• Tingkatkan dan pantau keseimbangan cairan dan elektrolit
• Pantau cairan IV
• Kaji asupan dan keluaran
• Kaji status hidrasi
• Pantau berat badan harian
• Pantau kemampuan anak untuk rehidrasi
• Melalui mulut
• Cegah iritabilitas saluran gastro intestinal lebih lanjut
• Kaji kemampuan anak untuk mengkonsumsi melalui mulut (misalnya: pertama diberi cairan rehidrasi oral, kemudian meningkat ke makanan biasa yang mudah dicerna seperti: pisang, nasi, roti atau asi.
• Hindari memberikan susu produk.
• Konsultasikan dengan ahli gizi tentang pemilihan makanan.
• Cegah iritasi dan kerusakan kulit
• Ganti popok dengan sering, kaji kondisi kulit setiap saat.
• Basuh perineum dengan sabun ringan dan air dan paparkan terhadap udara.
• Berikan salep pelumas pada rektum dan perineum (feses yang bersifat asam akan mengiritasi kulit).
• Ikuti tindakan pencegahan umum atau enterik untuk mencegah penularan infeksi (merujuk pada kebijakan dan prosedur institusi).
• Penuhi kebutuhan perkembangan anak selama hospitalisasi.
• Sediakan mainan sesuai usia.
• Masukan rutinitas di rumah selama hospitalisasi.
• Dorong pengungkapan perasaan dengan cara-cara yang sesuai usia.
• Berikan dukungan emosional keluarga.
• Dorong untuk mengekspresikan kekhawatirannya.
• Rujuk layanan sosial bila perlu.
• Beri kenyamanan fisik dan psikologis.
• Rencana pemulangan.
• Ajarkan orang tua dan anak tentang higiene personal dan lingkungan.
• Kuatkan informasi tentang diet.
• Beri informasi tentang tanda-tanda dehidrasi pada orang tua.
• Ajarkan orang tua tentang perjanjian pemeriksaan ulang.

DAFTAR PUSTAKA
1. Betz Cecily L, Sowden Linda A. 2002. Buku Saku Keperawatan
Pediatik, Jakarta, EGC
2. Sachasin Rosa M. 1996. Prinsip Keperawatan Pediatik. Alih bahasa :
Manulang R.F. Jakarta, EGC
4. Arjatmo T. 2001. Keadaan Gawat yang mengancam jiwa, Jakarta gaya baru

ASKEP DIARE

• Pengertian
Menurut Haroen N, S. Suraatmaja dan P.O Asdil (1998), diare adalah defekasi encer lebih dari 3 kali sehari dengan atau tanpa darah atau lendir dalam tinja.
Sedangkan menurut C.L Betz & L.A Sowden (1996) diare merupakan suatu keadaan terjadinya inflamasi mukosa lambung atau usus.
Menurut Suradi & Rita (2001), diare diartikan sebagai suatu keadaan dimana terjadinya kehilangan cairan dan elektrolit secara berlebihan yang terjadi karena frekuensi buang air besar satu kali atau lebih dengan bentuk encer atau cair.
Jadi diare dapat diartikan suatu kondisi, buang air besar yang tidak normal yaitu lebih dari 3 kali sehari dengan konsistensi tinja yang encer dapat disertai atau tanpa disertai darah atau lendir sebagai akibat dari terjadinya proses inflamasi pada lambung atau usus.
• Penyebab
Menurut Haroen N.S, Suraatmaja dan P.O Asnil (1998), ditinjau dari sudut patofisiologi, penyebab diare akut dapat dibagi dalam dua golongan yaitu:
1. Diare sekresi (secretory diarrhoe), disebabkan oleh:
• Infeksi virus, kuman-kuman patogen dan apatogen seperti shigella, salmonela, E. Coli, golongan vibrio, B. Cereus, clostridium perfarings, stapylococus aureus, comperastaltik usus halus yang disebabkan bahan-bahan kimia makanan (misalnya keracunan makanan, makanan yang pedas, terlalau asam), gangguan psikis (ketakutan, gugup), gangguan saraf, hawa dingin, alergi dan sebagainya.
• Defisiensi imum terutama SIGA (secretory imonol bulin A) yang mengakibatkan terjadinya berlipat gandanya bakteri/flata usus dan jamur terutama canalida.
2. Diare osmotik (osmotik diarrhoea) disebabkan oleh:
• malabsorpsi makanan: karbohidrat, lemak (LCT), protein, vitamin dan mineral.
• Kurang kalori protein.
• Bayi berat badan lahir rendah dan bayi baru lahir.

• Patofisiologi
Mekanisme dasar yang menyebabkan diare ialah yang pertama gangguan osmotik, akibat terdapatnya makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus meninggi, sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit kedalam rongga usus, isi rongga usus yang berlebihan ini akan merangsang usus untuk mengeluarkannya sehingga timbul diare.
Kedua akibat rangsangan tertentu (misalnya toksin) pada dinding usus akan terjadi peningkatan sekali air dan elektrolit ke dalam rongga usus dan selanjutnya diare timbul karena terdapat peningkatan isi rongga usus.
Ketiga gangguan motalitas usus, terjadinya hiperperistaltik akan mengakibatkan berkurangnya kesempatan usus untuk menyerap makanan sehingga timbul diare sebaliknya bila peristaltik usus menurun akan mengakibatkan bakteri timbul berlebihan yang selanjutnya dapat menimbulkan diare pula.
Selain itu diare juga dapat terjadi, akibat masuknya mikroorganisme hidup ke dalam usus setelah berhasil melewati rintangan asam lambung, mikroorganisme tersebut berkembang biak, kemudian mengeluarkan toksin dan akibat toksin tersebut terjadi hipersekresi yang selanjutnya akan menimbulkan diare.
Sedangkan akibat dari diare akan terjadi beberapa hal sebagai berikut:
1. Kehilangan air (dehidrasi)
Dehidrasi terjadi karena kehilangan air (output) lebih banyak dari pemasukan (input), merupakan penyebab terjadinya kematian pada diare. Gangguan keseimbangan asam basa (metabik asidosis). Hal ini terjadi karena kehilangan Na-bicarbonat bersama tinja. Metabolisme lemak tidak sempurna sehingga benda kotor tertimbun dalam tubuh, terjadinya penimbunan asam laktat karena adanya anorexia jaringan. Produk metabolisme yang bersifat asam meningkat karena tidak dapat dikeluarkan oleh ginjal (terjadi oliguria/anuria) dan terjadinya pemindahan ion Na dari cairan ekstraseluler kedalam cairan intraseluler.
2. Hipoglikemia
Hipoglikemia terjadi pada 2-3% anak yang menderita diare, lebih sering pada anak yang sebelumnya telah menderita KKP. Hal ini terjadi karena adanya gangguan penyimpanan/penyediaan glikogen dalam hati dan adanya gangguan absorbsi glukosa.Gejala hipoglikemia akan muncul jika kadar glukosa darah menurun hingga 40 mg% pada bayi dan 50% pada anak-anak. Gangguan gizi
3. Terjadinya penurunan berat badan dalam waktu singkat, hal ini disebabkan oleh:
• Makanan sering dihentikan oleh orang tua karena takut diare atau muntah yang bertambah hebat.
• Walaupun susu diteruskan, sering diberikan dengan pengeluaran dan susu yang encer ini diberikan terlalu lama.
• Makanan yang diberikan sering tidak dapat dicerna dan diabsorbsi dengan baik karena adanya hiperperistaltik.
4. Gangguan sirkulasi
Sebagai akibat diare dapat terjadi renjatan (shock) hipovolemik, akibatnya perfusi jaringan berkurang dan terjadi hipoksia, asidosis bertambah berat, dapat mengakibatkan perdarahan otak, kesadaran menurun dan bila tidak segera diatasi klien akan meninggal.

• Manifestasi Klinis Diare
1. Mula-mula anak/bayi cengeng gelisah, suhu tubuh mungkin meningkat, nafsu makan berkurang.
2. Sering buang air besar dengan konsistensi tinja cair atau encer, kadang disertai wial dan wiata.
3. Warna tinja berubah menjadi kehijau-hijauan karena bercampur empedu.
4. Anus dan sekitarnya lecet karena seringnya difekasi dan tinja menjadi lebih asam akibat banyaknya asam laktat.
5. Terdapat tanda dan gejala dehidrasi, turgor kulit jelas (elistitas kulit menurun), ubun-ubun dan mata cekung membran mukosa kering dan disertai penurunan berat badan.
6. Perubahan tanda-tanda vital, nadi dan respirasi cepat tekan darah turun, denyut jantung cepat, pasien sangat lemas, kesadaran menurun (apatis, samnolen, sopora komatus) sebagai akibat hipovokanik.
7. Diuresis berkurang (oliguria sampai anuria).
8. Bila terjadi asidosis metabolik klien akan tampak pucat dan pernafasan cepat dan dalam. (Kusmaul).

• Pemeriksaan diagnostik :
Pemeriksaan tinja
• Makroskopis dan mikroskopis
• PH dan kadar gula dalam tinja
• Bila perlu diadakan uji bakteri
1. Pemeriksaan gangguan keseimbangan asam basa dalam darah, dengan menentukan PH dan cadangan alkali dan analisa gas darah.
2. Pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin untuk mengetahui faal ginjal.
3. Pemeriksaan elektrolit terutama kadar Na, K, Kalsium dan Posfat.
• Komplikasi
1. Dehidrasi (ringan, sedang, berat, hipotonik, isotonik atau hipertonik).
2. Renjatan hipovolemik.
3. Hipokalemia (dengan gejala mekorismus, hiptoni otot, lemah, bradikardi, perubahan pada elektro kardiagram).
4. Hipoglikemia.
5. Introleransi laktosa sekunder, sebagai akibat defisiensi enzim laktase karena kerusakan vili mukosa, usus halus.
6. Kejang terutama pada dehidrasi hipertonik.
7. Malnutrisi energi, protein, karena selain diare dan muntah, penderita juga mengalami kelaparan.
• Derajat dehidrasi
Menurut banyaknya cairan yang hilang, derajat dehidrasi dapat dibagi berdasarkan:
• Kehilangan berat badan
• Tidak ada dehidrasi, bila terjadi penurunan berat badan 2,5%.
• Dehidrasi ringan bila terjadi penurunan berat badan 2,5-5%.
• Dehidrasi berat bila terjadi penurunan berat badan 5-10%

• 7 jam berikut : 10 ml/kgBB/jam atau 2,5 tts/kgBB/mnt (1 ml=15 tts atau 3 tts/kgBB/menit (1 ml=20 tetes). Pentalaksanaan
1. Medis
Dasar pengobatan diare adalah:
• Pemberian cairan, jenis cairan, cara memberikan cairan, jumlah pemberiannya.
• Cairan per oral
Pada klien dengan dehidrasi ringan dan sedang diberikan peroral berupa cairan yang bersifat NaCl dan NaHCO 3 dan glukosa. Untuk diare akut dan kolera pada anak diatas 6 bulan kadar Natrium 90 mEg/l. Pada anak dibawah umur 6 bulan dengan dehidrasi ringan-sedang kadar natrium 50-60 mEg/l. Formula lengkap disebut oralit, sedangkan larutan gula garam dan tajin disebut formula yang tidak lengkap karena banyak mengandung NaCl dan sukrosa.
• Cairan parentral
Diberikan pada klien yang mengalami dehidrasi berat, dengan rincian sebagai berikut:
• Untuk anak umur 1 bl-2 tahun berat badan 3-10 kg
• 1 jam pertama : 40 ml/kgBB/menit= 3 tts/kgBB/mnt (infus set berukuran 1 ml=15 tts atau 13 tts/kgBB/menit (set infus 1 ml=20 tetes).
• 7 jam berikutnya : 12 ml/kgBB/menit= 3 tts/kgBB/mnt (infusset berukuran 1 ml=15 tts atau 4 tts/kgBB/menit (set infus 1 ml=20 tetes).
• 16 jam berikutnya : 125 ml/kgBB/ oralit
• Untuk anak lebih dari 2-5 tahun dengan berat badan 10-15 kg
• 1 jam pertama : 30 ml/kgBB/jam atau 8 tts/kgBB/mnt (1 ml=15 tts atau 10 tts/kgBB/menit (1 ml=20 tetes).
• Untuk anak lebih dari 5-10 tahun dengan berat badan 15-25 kg
• 1 jam pertama : 20 ml/kgBB/jam atau 5 tts/kgBB/mnt (1 ml=15 tts atau 7 tts/kgBB/menit (1 ml=20 tetes).
• 16 jam berikut : 105 ml/kgBB oralit per oral.
• Untuk bayi baru lahir dengan berat badan 2-3 kg
• Kebutuhan cairan: 125 ml + 100 ml + 25 ml = 250 ml/kg/BB/24 jam, jenis cairan 4:1 (4 bagian glukosa 5% + 1 bagian NaHCO 3 1½ %.
Kecepatan : 4 jam pertama : 25 ml/kgBB/jam atau 6 tts/kgBB/menit (1 ml = 15 tts) 8 tts/kg/BB/mt (1mt=20 tts).
• Untuk bayi berat badan lahir rendah
Kebutuhan cairan: 250 ml/kg/BB/24 jam, jenis cairan 4:1 (4 bagian glukosa 10% + 1 bagian NaHCO 3 1½ %).
• Pengobatan dietetik
Untuk anak dibawah 1 tahun dan anak diatas 1 tahun dengan berat badan kurang dari 7 kg, jenis makanan:
• Susu (ASI, susu formula yang mengandung laktosa rendah dan lemak tak jenuh
• Makanan setengah padat (bubur atau makanan padat (nasi tim)
• Susu khusus yang disesuaikan dengan kelainan yang ditemukan misalnya susu yang tidak mengandung laktosa dan asam lemak yang berantai sedang atau tak jenuh.
• Obat-obatan
Prinsip pengobatan menggantikan cairan yang hilang dengan cairan yang mengandung elektrolit dan glukosa atau karbohidrat lain.
1. Keperawatan
Masalah klien diare yang perlu diperhatikan ialah resiko terjadinya gangguan sirkulasi darah, kebutuhan nutrisi, resiko komplikasi, gangguan rasa aman dan nyaman, kurangnya pengetahuan orang tua mengenai proses penyakit.
Mengingat diare sebagian besar menular, maka perlu dilakukan penataan lingkungan sehingga tidak terjadi penularan pada klien lain.
• Data fokus
• Hidrasi
• Turgor kulit
• Membran mukosa
• Asupan dan haluaran
• Abdomen
• Nyeri
• Kekauan
• Bising usus
• Muntah-jumlah, frekuensi dan karakteristik
• Feses-jumlah, frekuensi, dan karakteristik
• Kram
• Tenesmus
• Diagnosa keperawatan
• Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan ketidakseimbangan antara intake dan out put.
• Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan kontaminasi usus dengan mikroorganisme.
• Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan iritasi yang disebabkan oleh peningkatan frekuensi BAB.
• Cemas berhubungan dengan perpisahan dengan orang tua, tidak mengenal lingkungan, prosedur yang dilaksanakan.
• Kecemasan keluarga berhubungan dengan krisis situasi atau kurangnya pengetahuan.
• Intervensi
• Tingkatkan dan pantau keseimbangan cairan dan elektrolit
• Pantau cairan IV
• Kaji asupan dan keluaran
• Kaji status hidrasi
• Pantau berat badan harian
• Pantau kemampuan anak untuk rehidrasi
• Melalui mulut
• Cegah iritabilitas saluran gastro intestinal lebih lanjut
• Kaji kemampuan anak untuk mengkonsumsi melalui mulut (misalnya: pertama diberi cairan rehidrasi oral, kemudian meningkat ke makanan biasa yang mudah dicerna seperti: pisang, nasi, roti atau asi.
• Hindari memberikan susu produk.
• Konsultasikan dengan ahli gizi tentang pemilihan makanan.
• Cegah iritasi dan kerusakan kulit
• Ganti popok dengan sering, kaji kondisi kulit setiap saat.
• Basuh perineum dengan sabun ringan dan air dan paparkan terhadap udara.
• Berikan salep pelumas pada rektum dan perineum (feses yang bersifat asam akan mengiritasi kulit).
• Ikuti tindakan pencegahan umum atau enterik untuk mencegah penularan infeksi (merujuk pada kebijakan dan prosedur institusi).
• Penuhi kebutuhan perkembangan anak selama hospitalisasi.
• Sediakan mainan sesuai usia.
• Masukan rutinitas di rumah selama hospitalisasi.
• Dorong pengungkapan perasaan dengan cara-cara yang sesuai usia.
• Berikan dukungan emosional keluarga.
• Dorong untuk mengekspresikan kekhawatirannya.
• Rujuk layanan sosial bila perlu.
• Beri kenyamanan fisik dan psikologis.
• Rencana pemulangan.
• Ajarkan orang tua dan anak tentang higiene personal dan lingkungan.
• Kuatkan informasi tentang diet.
• Beri informasi tentang tanda-tanda dehidrasi pada orang tua.
• Ajarkan orang tua tentang perjanjian pemeriksaan ulang.

DAFTAR PUSTAKA
1. Betz Cecily L, Sowden Linda A. 2002. Buku Saku Keperawatan
Pediatik, Jakarta, EGC
2. Sachasin Rosa M. 1996. Prinsip Keperawatan Pediatik. Alih bahasa :
Manulang R.F. Jakarta, EGC
4. Arjatmo T. 2001. Keadaan Gawat yang mengancam jiwa, Jakarta gaya baru

ASKEP ANEMIA

A.Latar Belakang
Anemia adalah berkurangnya hingga dibawah normal eritrosit, kuantitas hemoglobin, dan volume packed red blood cell (hematokrit) per 100 ml darah. Jadi, anemia bukan suatu penyakit tertentu, tetapi cerminan perubahan patofisiologik yang mendasar yang diuraikan melalui anamnesis yang seksama, pemeriksaan fisik, dan konfirmasi laboratorium (Baldy, 2006). Anemia merupakan masalah medik yang paling sering dijumpai di klinik di seluruh dunia, disamping berbagai masalah kesehatan utama masyarakat, terutama di negara berkembang, yang mempunyai dampak besar terhadap kesejahteraan sosial dan ekonomi, serta kesehatan fisik (Bakta, 2006). Masyarakat Indonesia masih belum sepenuhnya menyadari pentingnya zat gizi, karena itu prevalensi anemia di Indonesia sekarang ini masih cukup tinggi, terutama anemia defisiensi nutrisi seperti besi, asam folat, atau vitamin B12
Contoh kasus :
An. A, berusia 5 tahun dibawa ke dokter dengan keluhan puca, dibawa kedokter . Hasil anamnesa dengan ibunya, anaknya terlihat pucat sejak 2 bulan yang lalu. Keluhan lain yang menyertai adalah demam yang tidak terlalu tinggi, perut mual, sering tertidur di kelas dan susah makan. Sejak kecil anak A memang tidak suka makan daging. Hasil pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva pucat, bising jantung, tidak didapatkan hepatomegali ataupun splenomegali. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 8,0 g/dL. Dokter memberikan tablet tambah darah untuk anak A.
B.Rumusan Masalah
1. Istilah apa yang belum diketahui pada kasus di atas ?
2. Masalah apa yang muncul dalam kasus yang di alami oleh An.A ?
3. Bagaimana cara menganalisa masalah yang timbul dari kasus yang di alami oleh anak A ?
4. Bagaimanakah etiologi dan klasifikasi anemia?
5. Bagaimanakah dasar diagnosis tipe anemia yang paling tepat?
6. Bagaimanakah patogenesis dan patofisiologi anemia?
7. Bagaimanakah penatalaksanaan pasien anemia dalam kasus?
C.Tujuan Penulisan
1. Mengetahui istilah yang belum diketahui dalam kasus tersebut .
2. Mengetahui masalah yang dapat mucul pada kasus yang dialami oleh An. A .
3. Mengatahui analisa masalah yang timbul dari kasus yang dialami oleh anak A.
4. Mengetahui dasar diagnosis tipe anemia yang paling tepat.
5. Mengetahui patogenesis dan patofisiologi anemia.
6. Mengetahui penatalaksanaan pasien anemia dalam kasus.
D.Manfaat Penulisan
Mahasiswa mengetahui dasar teori hematologi dan penatalaksanaan keperawatan dalam pemecahan kasus diatas.










BAB II
TINJAUAN TEORI

1.Pengertian Anemia
Anemia adalah pengurangan jumlah sel darah merah, kuantitas hemoglobin dan volume pada sel darah merah ( Hematokrit per 100 ml darah ). Anemia adalah suatu kondisi medis di mana sel darah merah atau jumlah hemoglobin kurang dari normal. Tingkat hemoglobin normal umumnya berbeda pada laki-laki dan perempuan. . Untuk pria, anemia biasanya didefinisikan sebagai kadar hemoglobin kurang dari 13,5 gram/100ml dan pada wanita sebagai hemoglobin kurang dari 12,0 gram/100ml.

2.Fisiologi Eritrosit dan Hemoglobin
Eritrosit dibentuk dari stem cell pluripoten di sumsum tulang (PHSC) yang kemudian berdiferensiasi menjadi CFU-S (unit pembentuk koloni limpa), CFU-B (unit pembentuk koloni blas), kemudian baru membentuk CFU-E (unit pembentuk koloni eritrosit).
Eritrosit mengandung hemoglobin (Hb) yang mengangkut O2 dari paru-paru ke jaringan. Jumlah total eritrosit dalam sirkulasi diatur sedemikian rupa agar cukup untuk menyulai O2 ke seluruh jaringan, namun tidak terlalu banyak, agar tidak menghambat aliran darah.
Produksi eritrosit terutama diatur oleh oksigenasi jaringan. Menurunnya oksigenasi jaringan menstimulasi hormon eritropoietin, terutama dari ginjal, yang kemudian akan merangsang produksi proeritroblas dari sel stem hematopoietik di sumsum tulang. Kemudian, eritropoietin juga akan mempercepat proses diferensiasi pada berbagai tahap eritroblastik dibandingkan dengan normal.
Proses pematangan eritrosit dipengaruhi oleh vitamin B12 dan asam folat, karena keduanya berperan penting dalam sintesis DNA─pematangan inti dan pembelahan sel. Sedangkan besi (Fe++) penting dalam pembentukan heme. Heme kemudian bergabung dengan rantai polipeptida panjang globin membentuk hemoglobin.
Hemoglobin adalah molekul protein pada sel darah merah yang berfungsi sebagai media transport oksigen dari paru paru ke seluruh jaringan tubuh dan membawa karbondioksida dari jaringan tubuh ke paru paru. Kandungan zat besi yang terdapat dalam hemoglobin membuat darah berwarna merah.
Proses pembentukan hemoglobin adalah sebagai berikut:
1. asam 2 α-ketoglutarat + glisin à pirol
2. 4 pirol à protoporfirin III
3. protoporfirin III + Fe à hem
4. 4 hem + globin à hemoglobin
Kadar normal haemoglobin
Kadar hemoglobin menggunakan satuan gram/dl. Yang artinya banyaknya gram hemoglobin dalam 100 mililiter darah.
Nilai normal hemoglobin tergantung dari umur pasien :
• Bayi baru lahir : 17-22 gram/dl
• Umur 1 minggu : 15-20 gram/dl
• Umur 1 bulan : 11-15 gram/dl
• Anak anak : 11-13 gram/dl
• Lelaki dewasa : 14-18 gram/dl
• Perempuan dewasa : 12-16 gram/dl
• Lelaki tua : 12.4-14.9 gram/dl
• Perempuan tua : 11.7-13.8 gram/dl
Nilai diatas dapat berbeda pada masing masing laboratorium namun tidak akan terlalu jauh dari nilai diatas. Ada pula laboratorium yang tidak membedakan antara lelaki atau perempuan dewasa dengan lelaki atau perempuan tua.

3.Etiologi dan Klasifikasi Anemia
Pada dasarnya anemia disebabkan karena : 1) gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang; 2) kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan); dan 3) proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis).
Klasifikasi lain untuk anemia dapat dibuat berdasarkan gambaran morfologik dengan melihat indeks eritrosit atau hapusan darah tepi, yang dibagi menjadi 3: 1) anemia hipokromik mikrositer, 2) anemia normokromik normositer, dan 3) anemia makrositer.
Berdasarkan beratnya anemia, anemia berat biasanya disebabkan oleh anemia : 1) defisiensi besi, 2) aplastik, 3) pada leukimia akut, 4) hemolitik didapat atau kongenital misalnya pada thalassemia mayor, 5) pasca perdarahan akut, dan 6) pada GGK stadium terminal.
Jenis anemia yang lebih sering bersifat ringan sampai sedang adalah anemia : 1) akibat penyakit kronik, 2) pada penyakit sistemik, dan 3) thalasemia trait

4.Pemeriksaan Dasar dan Diagnosis Anemia
Pemeriksaan laboratorium untuk diagnosis anemia terdiri dari 1) pemeriksaan penyaring (terdiri dari pengukuran kadar Hb, indeks eritrosit, dan apusan darah tepi), 2) pemeriksaan darah seri anemia (meliputi hitung leukosit, trombosit, retikulosit, dan laju endap darah), 3) pemeriksaan sumsum tulang, dan 4) pemeriksaan khusus sesuai jenis anemia. Selain itu, diperlukan pulaa pemeriksaan non-hematologik tertentu seperti pemeriksaan faal hati, faal ginjal, atau faal tiroid.
Tahap diagnosis anemia terdiri dari 1) menentukan adanya anemia, 2) menentukan jenis anemia, 3) menentukan etiologi anemia, dan 4) menentukan ada tidaknya penyakit penyerta yang akan mempengaruhi hasil pengobatan (Bakta, 2006).
Anemia defisiensi besi perlu dibedakan dengan anemia hipokromik lainnya perti anemia akibat penyakit kronik, thalassemia, dan anemia sideroblastik. Perbedaan yang ditemukan diantaranya seperti derajat anemia, MCV, MCH, besi serum, TIBC, dan lainnnya.

5.Patofisiologi
Apabila jumlah besi menurun terus maka eritropiesis semakin terganggu sehingga kadar hemoglobin mulai menurun, akibatnya timbul anemia hipokromik mikrositer, disebut sebagai iron deficiency anemia. Kekurangan besi pada epitel serta beberapa enzim kemudian menimbulkan gejala pada kuku, epitel mulut dan faring serta berbagai gejala lainnya.
Di samping pada hemoglobin, besi juga menjadi komponen penting dari mioglobin dan berbagai enzim yang dibutuhkan dalam penyediaan energi dan transport elektron. Oleh karena itu, defisiensi besi di samping menimbulkan anemia, juga akan menimbulkan berbagai dampak negatif, misalnya pada 1) sistem neuromuskular yang mengakibatkan gangguan kapasitas kerja, 2) gangguan terhadap proses mental dan kecerdasan, 3) gangguan imunitas dan ketahanan terhadap infeksi, dan 4) gangguan terhadap ibu hamil dan janin. Gangguan ini dapat timbul pada anemia ringan atau bahkan sebelum anemia manifest.

6.Clinical Pathway
Kurangnya asupan zat besi

Cadangan zat besi tidak mencukupi

Anemia Deferensi Zat besi Lemah , pucat , demam

7.Tanda dan Gejala
1. konjungtiva pucat (hemoglobin 6 sampai 10 g/dl.
2.Telapak tangan pucat ( Hb dibawah 8 g/dl )
3. Iritabilitas dan Anoreksia ( Hb 5 g/dl atau lebih rendah
4. Takikardia , murmur sistolik
5. Pika
6. Letargi, kebutuhan tidur meningkat
7. Kehilangan minat terhadap mainan atau aktifitas bermain.

8.Komplikasi
1. Perkembangan otot buruk (jangka panjang).
2. Daya konsentrasi menurun.
3. Hasil uji perkembangan menurun.
4. Kemampuan mengelola informasi yang didengar menurun.

9.Pemeriksaan Khusus dan Penunjang
1. Kadar porfirin eritrosit bebas — meningkat.
2. Konsentrasi besi serum ——- menurun.
3. Saturasi transferin —— menurun.
4. Konsentrasi feritin serum —- menurun.
5. Hemoglobin menurun.
6. Rasio hemoglobin porfirin eritrosit —- lebih dari 2,8 ug/g adalah diagnostic untuk defisiensi besi.
7. Mean cospuscle volume ( MCV) dan mean cospuscle hemoglobin concentration ( MCHC ) —- menurun menyebabkan anemia hipokrom mikrositik atau sel-sel darah merah yang kecil-kecil dan pucat.
8. Selama pengobatan jumlah retikulosit —- meningkat dalam 3 sampai 5 hari sesuadh dimulainya terapi besi mengindikasikan respons terapeutik yang positif.
9. Dengan pengobatan, hemoglobin——- kembali normal dalam 4 sampai 8 minggu mengindikasikan tambahan besi dan nutrisi yang adekuat.

10.Pengobatan
Usaha pengobatan ditujukan pada pencegahan dan intervensi. Pencegahan tersebut mencakup ; Menganjurkan Ibu-Ibu untuk memberikan ASI, Makan makanan kaya zat besi dan minum vitamin pranatal yang mengandung besi.
Terapi untuk mengatasi anemia defisiensi zat besi terdiri dari program pengobatan berikut ;
1. Zat besi diberikan per oral dalam dosis 2 – 3 mg/kg unsur besi semua bentuk zat besi sama efektifnya ( fero sulfat, fero fumarat, fero suksinat, fero glukonat.
2. Vitamin C harus diberikan bersama dengan besi ( Vitamin C meningkatkan absorpsi besi ).
Terapi besi hendaknya diberikan sekurang-kurangnya selama 6 minggu setelah anemia dikoreksi untuk mengisi kembali cadangan besi. Zat besi yang disuntikkan jarang dipakai lagi kecuali terdapat penyakit malabsorpsi usus halus.
BAB III
PEMBAHASAN

I. Istilah dalam anemia
Pada kasus diatas, pasien mengalami anemia, namun hasil pemeriksaan lebih lanjut belum didapatkan, sehingga tipe anemia yang lebih spesifik belum diketahui. Namun berdasarkan pemeriksaan hemoglobin, Hb 8 gr/dL menunjukkan bahwa pasien memang mengalami anemia, karena pada anak-anak, Hb dibawah 11 g/dL dikategorikan sebagai anemia. Untuk menentukan jenis anemia yang spesifik agar penatalaksanaannya berjalan efektif perlu dilakukan serangkaian tes lain, seperti tes laboratorium.
 Konjungtiva pucat /anemis : Tampak pucat pada bagian halus yang melapisi kelopak mata.
 Hepatomegali : Pembengkakan/pembesaran hepar.
 Splenomegali : Pembengkakan/pembesaran limpa.
 Bising jantung : Bunyi yang ditimbulkan oleh pusaran abnormal,aliran darah atau turbulensi dalam ruang jantung dan pembuluh darah.

2.Masalah yang dapat muncul terhadap penderita anemia
Pucat : Hemoglobinisasi yang tidak adekuat menyebabkan central pallor di tengah eritrosit berwarna pucat berlebihan yang lebih dari sepertiga diameternya, sehingga menimbulkan keadaan pucat pada pasien.
Perut mual dan susah makan : Defisiensi besi dapat menyebabkan gangguan enzim aldehid oksidase sehingga terjadi penumpukan serotonin yang merupakan pengontrol nafsu makan. Hal ini mengakibatkan reseptor 5 HT meningkat, di usus halus menyebabkan mual dan muntah. Selain itu, defisiensi besi juga dapat menyebabkan gangguan enzim monoamino oksidase sehingga terjadi penumpukan katekolamin dalam otak. Hal inilah yang menjadi sebab terjadinya keadaan mual dan sulit makan.
Tidak suka makan daging : Padahal, daging merupakan sumber zat besi sebagai pembentuk heme yang absorpsinya tidak dihambat oleh bahan penghambat sehingga mempunyai bioavailabilitas tinggi. Selain besi, daging juga mengandung zat gizi lain, misalnya asam folat. Protein daging lebih mudah diserap karena heme dalam hemoglobin dan mioglobin tidak berubah sebagai hemin (bentuk feri dari heme). Kompleksnya nutrisi yang terkandung dalam daging inilah yang menyebabkan pasien mengalami anemia, walaupun yang paling dominan adalah akibat dari defisiensi besi.
Konjungtiva pucat : Hb menurun, sehingga suplai darah yang menyuplai daerah konjungtiva pun berkurang.
Bising jantung : disebabkan akibat kerja jantung yang lebih kuat karena adanya gangguan oksigenasi jaringan. Mekanisme peningkatkan kecepatan aliran darah inilah yang menimbulkan bising jantung.
Suka tertidur dikelas : karena oksigen yang tersedia dalam darah tidak cukup untuk menyuplai kebutuhan sel-sel otak, sehingga pasien mengantuk dan sering tertidur.
Hemoglobin rendah : Hb dibentuk dalam sumsum tulang dengan bantuan eritropoesis. Hemoglobin ini membutuhkan zat besi sedangkan klien tidak suka makan daging. Karena berkurangnya zat besi pada hormon eritopoesis menyebabkan kadar hemoglobin rendah.

3.Kesimpulan
Pasien dalam kasus mengalami anemia defisiensi besi, karena kurangnya asupan besi dari nutrisi. Hal ini selanjutnya dapat dipastikan dengan mengetahui hasil pemeriksaan laboratorium.

4.Hepotesis
Pasien dalam kasus menderita anemia akibat defisiensi besi, padahal tingkat kebutuhan besi (Fe) meningkat dalam masa pertumbuhan. Akibat kurangnya asupan zat gizi berupa besi yang penting dalam proses hemopoiesis ini menimbulkan konsekuensi berbagai gejala klinis yang dialami oleh pasien tersebut. Dalam laporan ini, penulis membahas perbandingan berbagai jenis anemia, namun lebih fokus difokuskan kepada anemia defisiensi besi.


















BAB IV
Asuhan Keperawatan

I.Pengkajian Keperawatan
a.Usia anak : Fe menurun , biasanya pada usia 6-24bulan.
b.Pucat
c.Mudah lelah
d.Pusing kepala
e.Napas pendek.
f.Nadi cepat Kompensasi dari refleks cardiovascular.
g.Eliminasi urnie dan kadang-kadang terjadi penurunan produksi urine Penurunan aliran darah keginjal sehingga hormaon renin angiotensin aktif untuk menahan garam dan air sebagai kompensasi untuk memperbaiki perpusi dengan manefestasi penurunan produksi urine.
h.Gangguan pada sisten saraf Anemia difisiensi B 12.
i.Gangguan cerna pada anemia berat sering nyeri timbul nyeri perut, mual, muntah dan penurunan nafsu makan.
j.Pika suatu keadaan yang berkurang karena anak makan zat yang tidakbergizi, Anak yang memakan sesuatu apa saja yang merupakan bukan makanan seharusnya (PIKA).
k. Iritabel (cengeng, rewel atau mudah tersinggung).
l.Suhu tubuh meningkat karena dikeluarkanya leokosit dari jaringan iskemik.
m.Pola makan

II.Diagnosa Keperawatan
1. Intoleransi aktivitas b/d gangguan sistem transpor oksigen sekunder akibat anemia.
2. Kurang nutrisi dari kebutuhan b/d ketidak adekuatan masukan sekunder akibat: kurang stimulasi emosional/sensoris atau kurang pengetahuan tentang pemberian asuhan.
3. Ansietas/cemas b/d lingkungan atau orang.
III.Intervensi
1)Intoleransi aktivitas b/d gangguan sistem transpor oksigen sekunder akibat anemia
Rencana Tindakan:
1. Monitor Tanda-tanda vital seperti adanya takikardi, palpitasi, takipnue, dispneu, pusing, perubahan warna kulit, dan lainya.
2. Bantu aktivitas dalam batas tolerasi.
3. Berikan aktivitas bermain, pengalihan untuk mencegah kebosanan dan meningkatkan istirahat.
4. Pertahankan posisi fowler dan berikan oksigen suplemen
5. Monitor tanda-tanda vital dalam keadaan istirahat
2)Kurang nutrisi dari kebutuhan b/d ketidak adekuatan masukan sekunder akibat : kurang stimulasi emosional/sensoris atau kurang pengetahuan tentang pemberian asuhan

Rencana Tindakan:
1. Berikan nutrisi yang kaya zat besi (fe) seperti makanan daging, kacang, gandum,
sereal kering yang diperkaya zat besi.
2. Berikan susu suplemen setelah makan padat.
3. Berikan preparat besi peroral seperti fero sulfat, fero fumarat, fero suksinat,
fero glukonat, dan berikan antara waktu makan untuk meningkatkan absorpsi berikan bersama jeruk.
4. Ajarkan cara mencegah perubahan warna gigi akibat minum atau makan zat besi dengan cara berkumur setelah minum obat, minum preparat dengan air atau jus jeruk
5. Berikan multivitamin.
6. Jangan berikan preparat Fe bersama susu.
7. Kaji fases karena pemberian yang cukup akan mengubah fases menjadi hijau gelap.
8. Monitor kadar Hb atau tanda klinks.
9. >Anjurkan makan beserta air untuk mengurangi konstipasi.
10. Tingkatkan asupan daging dan tambahan padi-padian serta sayuran hijau dalam diet
3)Ansietas/cemas b/d lingkungan atau orang

Rencana Tindakan:
1. Libatkan orang tua bersama anak dalam persiapan prosedur diagnosis.
2. Jelaskan tujuan pemberian komponen darah.
3. Antisipasi peka rangsang anak, kerewelan dengan membantu aktivitas anak.
4. Dorong anak untuk mengekspresikan perasaan.
5. Berikan darah, sel darah atau trombosit sesuai dengan ketentuan, dengan
harapan anak mau menerima.











DAFTAR PUSTAKA

Cecily L. Betz, dkk, 2002, Buku Saku Keperawatan Pediatri, EGC Jakarta.
Suriadi,dkk, 2001, Asuhan Keperawatan Anak, cetakan I , penerbit C.V. Agung Seto, Jakarta

FKUI, 1998, Ilmu Kesehatan Anak, Percetakan infomedika, Jakarta.

Richard,R.,dkk, 1992, Ilmu Kesehatan Anak Bagian II.

Sylvia A.Price, dkk, 1995, Patofisiologi Konsep Klinis proses-proses penyakit, Edisi 4, EGC , Jakarta.

Lynda Jual Carpenito, 2001, Buku Saku Diagnosa Keperawatan, Edisi 8, EGC, Jakarta.
Nursalam, Rekawati, Sri Utami, Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak, Jakarta, Medika, 2005
Robins, Dasar-dasar Patologi Penyakit, EBC, 2005

Systemic Lupus Erythematosus

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Dalam Kongres Internasional Lupus Sedunia di New York, awal Mei lalu, lebih dari 1200 peserta dari seluruh penjuru dunia hadir, baik dari kalangan medik, perawat, peneliti, maupun mereka yang terkena lupus. Dokter spesialis yang hadir pun beragam, seperti spesialis penyakit dalam, konsultan hematologi, rematologi, ginjal, spesialis kulit dan kebidanan. Organisasi ataupun perhimpunan orang dengan lupus juga hadir dari berbagai negara, dari Indonesia hadir Ketua Yayasan Lupus Indonesia (YLI) yang merupakan wakil satu-satunya dari perhimpunan serupa di Asia.
Untuk diketahui saat ini, ada lebih dari 5 juta pasien lupus di seluruh dunia dan setiap tahun ditemukan lebih dari 100.000 pasien baru, baik usia anak, dewasa, laki-laki, dan perempuan. Sebagian besar pasien lupus ditemukan pada perempuan usia produktif. Jumlah pasien di Indonesia yang secara tepat tidak diketahui diperkirakan paling tidak sama dengan jumlah pasien lupus di Amerika, yaitu 1.500.000 orang. Beberapa data menunjukkan insiden penyakit lupus ras Asia lebih tinggi dibandingkan dengan ras Kaukasia. Saat ini pasien lupus yang terdaftar sebagai anggota YLI ada 757 orang, sebagian besar berdomisili di Jakarta.
Salah satu tujuan proklamasi hari lupus sedunia adalah meningkatkan kualitas layanan dan mengatasi berbagai masalah yang dihadapi pengidap lupus. Masalah pertama adalah seringnya penyakit pasien terlambat diketahui dan diobati dengan benar karena cukup banyak dokter yang tidak mengetahui atau kurang waspada tentang gejala penyakit lupus dan dampak lupus terhadap kesehatan. Di Indonesia, rendahnya kompetensi dokter untuk mendiagnosis penyakit secara dini dan mengobati penyakit lupus dengan tepat tercermin dari pendeknya survival 10 tahun yang masih sekitar 50 persen, dibandingkan dengan negara maju, yang 80 persen.
Masalah berikutnya adalah belum terpenuhinya kebutuhan pasien lupus dan keluarganya tentang informasi, pendidikan, dan dukungan yang terkait dengan lupus. Dirasakan penting sekali meningkatkan kewaspadaan masyarakat tentang dampak buruk penyakit lupus terhadap kesehatan. Masalah lupus tidak hanya berdampak buruk pada kesehatan pasien, namun juga mempunyai dampak psikologi dan sosial yang cukup berat untuk pasien maupun keluarganya.
Penderita dengan SLE membutuhkan pengobatan dan perawatan yang tepat dan benar. Pengobatan pada penderita SLE ditujukan untuk mengatasi gejala dan induksi remisi serta mempertahankan remisi selama mungkin pada perkembangan penyakit. Karena manifestasi klinis yang sangat bervariasi maka pengobatan didasarkan pada manifestasi yang muncul pada masing-masing individu.
Dan Peran Perawat pada kasus halusinasi ini meliputi :
- Promotif ialah memberikan penyuluhan tentang penyakit SLE kepada individu,keluarga dan masyarakat.
- Preventiv ialah memberikan pendidikan tentang SLE kepada individu, keluarga dan masyarakat.
- Curativ ialah memberikan askep dengan pendekatan proses keperawatan baik untuk individu, keluarga dan masyarakat dengan menggunakan pendekatan manajemen keperawatan yang terdiri dari :
a. Perencanaan askep yang di susun oleh SDM
b. Pengorganisasian : metode pemberian askep berupa M. Fungsional, M. Kasus total, M tim, M keperawatan primer ( Gillies, 1989 ).
c. Pengarahan : Motivasi, manajement konflik, pendelegasian komunikasi.
d. Pengawasan dan pengendallian langsung dan tidak langsung.
- Rehabilitativ ialah memberikan kegiatan yang mempunyai efek positif terhadap SLE supaya tidak terulang dan mencegah faktor Genetik.
Berdasarkan data di atas yang melatarbelakangi kenapa kelompok kami mengambil SLE ( sistemik Lupus Erythematosus ) sebagai materi makalah kami.

1.1 Rumusan Masalah
Bagaimanakah tindakan perawat dalam melakukan proses keperawatan terhadap pasien yang menderita penyakit systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik (LES) ?

1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Setelah mempelajari atau membahas makalah ini kelompok dapat memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan masalah sistemics lupus erythematosus ( SLE ).
Tujuan Khusus
a. Mampu melakukan pengkajian pada klien dengan sistemics lupus ertythematosus ( SLE )
b. Mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada klien dengan sistemics lupus erythematosus ( SLE )
c. Mampu merencanakan tindakan keperwatan pada klien dengan sistemic lupus erythematosus ( SLE )
d. Mampu melaksanakan tindakan keperawatan pada klien dengan sistemics lupus erythematosus ( SLE )
e. Melaksanakan evaluasi keperawatan pada klien dengan sistemics lupus erythematosus( SLE)

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang bagaimana cara perawat dalam melakukan proses keperawatan.

Ruang Lingkup
Ruang lingkup dari makalah keperawatan dengan sistemics lupus erythematosus yaitu asuhan keperawatan pada klien dengan sistemics lupus erythematosus ( SLE )

1.5 Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah metode.
1. Research library yaitu pengambilan sumber dari buku-buku yang ada kaitannya dengan pembahasan atau studi pustaka.
2. Web search yaitu ialah pengambilan sumber dari internet yang ada hubunganya dengan sistemics lupus erythematosus ( SLE )







BAB II
TINJAUAN TEORI

2. Pengertian
Penyakit lupus adalah penyakit sistem daya tahan, atau penyakit auto imun, artinya tubuh pasien lupus membentuk antibodi yang salah arah, merusak organ tubuh sendiri, seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit. Antibodi seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri ataupun virus yang masuk ke dalam tubuh.
Lupus adalah penyakit yang disebabkan sistem imun menyerang sel-sel jaringan organ tubuh yang sehat. sistem imun yang terbentuk berlebihan. kelainan ini dikenal dengan autoimunitas. pada kasus satu penyakit ini bisa membuat kulit seperti ruam merah yang rasanya terbakar (lupus DLE). pada kasus lain ketika sistem imun yang berlebihan itu menyerang persendian dapat menyebabkan kelumpuhan (lupus SLE).
SLE (Sistemics lupus erythematosus) adalah penyakti radang multisistem yang sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik remisi dan eksaserbasi disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoimun dalam tubuh.
Dalam ilmu imunologi atau kekebalan tubuh, penyakit ini adalah kebalikan dari kanker atau HIV/AIDS. Pada Lupus, tubuh menjadi overacting terhadap rangsangan dari sesuatu yang asing dan membuat terlalu banyak antibodi atau semacam protein yang malah ditujukan untuk melawan jaringan tubuh sendiri. Dengan demikian, Lupus disebut sebagai autoimmune disease (penyakit dengan kekebalan tubuh berlebihan).
Jenis penyakit Lupus ini memiliki tiga macam bentuk, yang pertama yaitu Cutaneus Lupus, seringkali disebut discoid yang mempengaruhi kulit. Kedua, Systemic Lupus Erythematosus (SLE) yang menyerang organ tubuh seperti kulit, persendian, paru-paru, darah, pembuluh darah, jantung, ginjal, hati, otak, dan syaraf. Ketiga, Drug Induced Lupus(DIL), timbul karena menggunakan obat-obatan tertentu. Setelah pemakaian dihentikan, umumnya gejala akan hilang.
Dan biasanya odipus (orang hidup dengan lupus)akan menghinari hal-hal yang dapat membuat penyakitnya kambuh dengan :
1. Menghindari stress
2. Menjaga agar tidak langsung terkena sinar matahari
3. Mengurangi beban kerja yang berlebihan
4. menghindari pemakaian obat tertentu.
Odipus dapat memeriksakaan diri pada dokter2 pemerhati penyakit ini, dokter spesialis penyakit dalam konsultasi hematologi, rheumatology, ginjal, hipertensi, alergi imunologi, jika lupus dapat tertanggulangi, berobat dengan teratur, minum obat teratur yang di berikan oleh dokter (yang biasanya diminum seumur hidup), odipus akan dapat hidup layaknya orang normal.

2.1 Epidemiologi
SLE lebih banyak terjadi pada wanita daripada pria . Dengan perbandingan 10 : 1. Perbandingan ini menurun menjadi 3 : 2 pada lupus yang diinduksi oleh obat. Penyakit SLE juga menyerang penderita usia produktif yaitu 15 – 64 tahun. Meskipun begitu, penyakit ini dapat terjadi pada semua orang tanpa membedakan usia dan jenis kelamin (Delafuente, 2002). Prevalensi SLE berbeda – beda untuk tiap etnis yaitu etnis Afrika – Amerika mempunyai prevalensi sebesar 1 kasus per 2000 populasi, Cina 1 dalam 1000 populasi, 12 kasus per 100.000 populasi terjadi di Inggris, 39 kasus dalam 100.000 populasi terdapat di Swedia. Di New Zealand, terjadi perbedaan prevalensi antara etnis Polynesian sebanyak 50 kasus per 100.000 populasi dengan orang kulit putih sebesar 14,6 kasus dalam 100.000 populasi (Bartels, 2006).

2.2 Etiologi
Faktor genetik mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan dan ekspresi penyakit SLE. Sekitar 10% – 20% pasien SLE mempunyai kerabat dekat (first degree relative) yang menderita SLE. Angka kejadian SLE pada saudara kembar identik (24-69%) lebih tinggi daripada saudara kembar non-identik (2-9%). Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan antara lain haplotip MHC terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3, komponen komplemen yang berperan pada fase awal reaksi pengikatan komplemen yaitu C1q, C1r, C1s, C3, C4, dan C2, serta gen-gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin, dan sitokin (Albar, 2003) .
Faktor lingkungan yang menyebabkan timbulnya SLE yaitu sinar UV yang mengubah struktur DNA di daerah yang terpapar sehingga menyebabkan perubahan sistem imun di daerah tersebut serta menginduksi apoptosis dari sel keratonosit. SLE juga dapat diinduksi oleh obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut (Herfindal et al., 2000). Makanan seperti wijen (alfafa sprouts) yang mengandung asam amino L-cannavine dapat mengurangi respon dari sel limfosit T dan B sehingga dapat menyebabkan SLE (Delafuente, 2002). Selain itu infeksi virus dan bakteri juga menyebabkan perubahan pada sistem imun dengan mekanisme menyebabkan peningkatan antibodi antiviral sehingga mengaktivasi sel B limfosit nonspesifik yang akan memicu terjadinya SLE (Herfindal et al., 2000).
Penyakit Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) ini lebih kerap ditemui di kalangan kaum wanita. Ini menunjukkan bahwa hormon yang terdapat pada wanita mempunyai peranan besar, walau bagaimanapun perkaitan antara Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) dan hormon wanita saat ini masih dalam kajian. Penyakit Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) bukanlah suatu penyakit keturunan. Walau bagaimanapun, mewarisi gabungan gen tertentu meningkatkan lagi risiko seseorang itu mengidap penyakit Sistemik Lupus Erythematosus (SLE).

2.3 Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan autoimun yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan.
Pada SLE, peningkatan produksi autoimun diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.
Pada pasien SLE terjadi gangguan respon imun yang menyebabkan aktivasi sel B, peningkatan jumlah sel yang menghasilkan antibodi, hipergamaglobulinemia, produksi autoantibodi, dan pembentukan kompleks imun (Mok dan Lau, 2003). Aktivasi sel T dan sel B disebabkan karena adanya stimulasi antigen spesifik baik yang berasal dari luar seperti bahan-bahan kimia, DNA bakteri, antigen virus, fosfolipid dinding sel atau yang berasal dari dalam yaitu protein DNA dan RNA. Antigen ini dibawa oleh antigen presenting cells (APCs) atau berikatan dengan antibodi pada permukaan sel B. Kemudian diproses oleh sel B dan APCs menjadi peptida dan dibawa ke sel T melalui molekul HLA yang ada di permukaan. Sel T akan teraktivasi dan mengeluarkan sitokin yang dapat merangsang sel B untuk membentuk autoantibodi yang patogen. Interaksi antara sel B dan sel T serta APCs dan sel T terjadi dengan bantuan sitokin, molekul CD 40, CTLA-4 (Epstein, 1998).

2.4 Manifestasi Klinis
a. Sistem Muskuloskeletal
Artralgia, artritis (sinovitis), pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari.
b. Sistem integument
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi. Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
c. Sistem kardiak
Perikarditis merupakan manifestasi kardiak.
d. Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.

e. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
f. Sistem perkemihan
Glomerulus renal yang biasanya terkena.
g. Sistem saraf
Spektrum gangguan sistem saraf pusat sangat luas dan mencakup seluruh bentuk penyakit neurologik, sering terjadi depresi dan psikosis.
h. Sistem Hematologi
Anemia yang terjadi akibat inflamasi kronik pada sebagian besar pasien saat lupusnya aktif
Manifestasi klinik secara umum yang sering timbul pada pasien SLE adalah rasa lelah, malaise, demam, penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan (Hahn, 2005). Gejala muskuloskeletal berupa artritis, atralgia, dan mialgia umumnya timbul mendahului gejala yang lain. Yang paling sering terkena adalah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut, pergelangan tangan, metakarpofalangeal, siku, dan pergelangan kaki (Delafuente, 2002).

2.5 Evaluasi Diagnostik
Pemeriksaan untuk menentukan adanya penyakit ini bervariasi, diantaranya:
a) Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah bisa menunjukkan adanya antibodi antinuklear, yang terdapat pada hampir semua penderita lupus. Tetapi antibodi ini juga juga bisa ditemukan pada penyakit lain. Karena itu jika menemukan antibodi antinuklear, harus dilakukan juga pemeriksaan untuk antibodi terhadap DNA rantai ganda. Kadar yang tinggi dari kedua antibodi ini hampir spesifik untuk lupus, tapi tidak semua penderita lupus memiliki antibodi ini. Pemeriksaan darah untuk mengukur kadar komplemen (protein yang berperan dalam sistem kekebalan) dan untuk menemukan antibodi lainnya, mungkin perlu dilakukan untuk memperkirakan aktivitas dan lamanya penyakit.
b) Ruam kulit atau lesi yang khas.
c) Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis.
d) Pemeriksaan dada dengan bantuan stetoskop menunjukkan adanya gesekan pleura atau jantung.
e) Analisa air kemih menunjukkan adanya darah atau protein lebih dari 0,5 mg/hari atau +++.
f) Hitung jenis darah menunjukkan adanya penurunan beberapa jenis sel darah.
g) Biopsi ginjal.
h) Pemeriksaan saraf.

2.6 Penatalaksanaan Medis
Tujuan dari pengobatan SLE adalah untuk mengurangi gejala penyakit, mencegah terjadinya inflamasi dan kerusakan jaringan, memperbaiki kualitas hidup pasien, memperpanjang ketahanan pasien, memonitor manifestasi penyakit, menghindari penyebaran penyakit, serta memberikan edukasi kepada pasien tentang manifestasi dan efek samping dari terapi obat yang diberikan. Karena banyaknya variasi dalam manifestasi klinik setiap individu maka pengobatan yang dilakukan juga sangat individual tergantung dari manifestasi klinik yang muncul. Pengobatan SLE meliputi terapi nonfarmakologi dan terapi farmakologi (Herfindal et al., 2000).
2.6.1 Terapi Nonfarmakologi
Pada sinar matahari ketika akan beraktivitas di luar rumah (Delafuente, 2002). Gejala yang sering muncul pada penderita SLE adalah lemah sehingga diperlukan keseimbangan antara istirahat dan kerja, dan hindari kerja yang terlalu berlebihan. Penderita SLE sebaiknya menghindari merokok karena hidrasin dalam tembakau diduga juga merupakan faktor lingkungan yang dapat memicu terjadinya SLE. Tidak ada diet yang spesifik untuk penderita SLE (Delafuente, 2002). Tetapi penggunaan minyak ikan pada pasien SLE yang mengandung vitamin E 75 IU and 500 IU/kg diet dapat menurunkan produksi sitokin proinflamasi seperti IL-4, IL-6, TNF-a, IL-10, dan menurunkan kadar antibodi anti-DNA (Venkatraman et al., 1999). Penggunaan sunblock (SPF 15) dan menggunakan pakaian tertutup untuk penderita SLE sangat disarankan untuk mengurangi paparan sinar UV.
2.6.2 Terapi Farmakologi
Terapi farmakologi untuk SLE ditujukan untuk menekan sistem imun dan mengatasi inflamasi. Umumnya pengobatan SLE tergantung dari tingkat keparahan dan lamanya pasien menderita SLE serta manifestasi yang timbul pada setiap pasien.
2.6.3 NSAID
Merupakan terapi utama untuk manifestasi SLE yang ringan termasuk salisilat dan NSAID yang lain (Delafuente, 2002). NSAID memiliki efek antipiretik, antiinflamasi, dan analgesik (Neal, 2002). NSAID dapat dibedakan menjadi nonselektif COX inhibitor dan selektif COX-2 inhibitor. Nonselektif COX inhibitor menghambat enzim COX-1 dan COX-2 serta memblok asam arakidonat. COX-2 muncul ketika terdapat rangsangan dari mediator inflamasi termasuk interleukin, interferon, serta tumor necrosing factor sedangkan COX-1 merupakan enzim yang berperan pada fungsi homeostasis tubuh seperti produksi prostaglandin untuk melindungi lambung serta keseimbangan hemodinamik dari ginjal. COX-1 terdapat pada mukosa lambung, sel endotelial vaskular, platelet, dan tubulus collecting renal (Katzung, 2002). Efek samping penggunaan NSAID adalah perdarahan saluran cerna, ulser, nefrotoksik, kulit kemerahan, dan alergi.
2.6.4 Diet
Restriksi diet ditentukan oleh terapi yang diberikan. Sebagian besar pasien memerlukan kortikosteroid, dan saat itu diet yang diperbolehkan adalah yang mengandung cukup kalsium, rendah lemak, dan rendah garam. Pasien disarankan berhati-hati dengan suplemen makanan dan obat tradisional.
Aktivitas
Pasien lupus sebaiknya tetap beraktivitas normal. Olahraga diperlukan untuk mempertahankan densitas tulang dan berat badan normal. Tetapi tidak boleh berlebihan karena lelah dan stress sering dihubungkan dengan kekambuhan. Pasien disarankan untuk menghindari sinar matahari, bila terpaksa harus terpapar matahari harus menggunakan krim pelindung matahari (waterproof sunblock) setiap 2 jam. Lampu fluorescence juga dapat meningkatkan timbulnya lesi kulit pada pasien SLE.
Obat lain
Obat-obat lain yang digunakan pada terapi penyakit SLE antara lain adalah azatioprin, intravena gamma globulin, monoklonal antibodi, terapi hormon, mikofenolat mofetil dan pemberian antiinfeksi.



BAB III
Asuhan Keperawatan

A. Pengkajian
1. Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan pada gejala sekarang dan gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah, lemah, nyeri, kaku, demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra diri pasien.
2. Kulit
Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.
3. Sistem Kardiovaskuler
Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura.
Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tanga.
4. Sistem Muskuloskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari.
5. Sistem Integumen
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi. Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
6. Sistem Pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
7. Sistem Vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
8. Sistem Renal
Edema dan hematuria.
9. Sistem Saraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea ataupun manifestasi SSP lainnya.

B.Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.
2. Keletihan berhubungan dengan peningkatan aktivitas penyakit, rasa nyeri, depresi.
3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan penurunan rentang gerak, kelemahan otot, rasa nyeri pada saat bergerak, keterbatasan daya tahan fisik.
4. Kerusakan mobilitas fisik berhubungqan dengan perubahan dan ketergantungan fisaik serta psikologis yang diakibatkan penyakit kronik.
5. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit, penumpukan kompleks imun

C.Intervensi
1. Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.
Tujuan : perbaikan dalam tingkat kennyamanan
Intervensi :
a. Laksanakan sejumlah tindakan yang memberikan kenyamanan (kompres panas /dingin, masase, perubahan posisi, istirahat; kasur busa, bantal penyangga, bidai, teknik relaksasi, aktivitas yang mengalihkan perhatian)
b. Berikan preparat antiinflamasi, analgesik seperti yang dianjurkan.
c. Sesuaikan jadwal pengobatan untuk memenuhi kebutuhan pasien terhadap penatalaksanaan nyeri.
d. Dorong pasien untuk mengutarakan perasaannya tentang rasa nyeri serta sifat kronik penyakitnya.
e. Jelaskan patofisiologik nyeri dan membantu pasien untuk menyadari bahwa rasa nyeri sering membawanya kepada metode terapi yang belum terbukti manfaatnya.
f. Bantu dalam mengenali nyeri kehidupan seseorang yang membawa pasien untuk memakai metode terapi yang belum terbukti manfaatnya.
g. Lakukan penilaian terhadap perubahan subjektif pada rasa nyeri.

2. Keletihan berhubungan dengan peningkatan aktivitas penyakit, rasa nyeri, depresi.
Tujuan : mengikutsertakan tindakan sebagai bagian dari aktivitas hidup sehari-hari yang diperlukan.
Intervensi :
a. Beri penjelasan tentang keletihan :
- Hubungan antara aktivitas penyakit dan keletihan
- Menjelaskan tindakan untuk memberikan kenyamanan sementara melaksanakannya
- Mengembangkan dan mempertahankan tindakan rutin unutk tidur (mandi air hangat dan teknik relaksasi yang memudahkan tidur)
- Menjelaskan pentingnya istirahat untuk mengurangi stres sistemik, artikuler dan emosional
- Menjelaskan cara mengggunakan teknik-teknik untuk menghemat tenaga
- Kenali faktor-faktor fisik dan emosional yang menyebabkan kelelahan.
b. Fasilitasi pengembangan jadwal aktivitas/istirahat yang tepat.
c. Dorong kepatuhan pasien terhadap program terapinya.
d. Rujuk dan dorong program kondisioning.
e. Dorong nutrisi adekuat termasuk sumber zat besi dari makanan dan suplemen.

3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan rentang gerak, kelemahan otot, rasa nyeri pada saat bergerak, keterbatasan daya tahan fisik.
Tujuan : mendapatkan dan mempertahankan mobilitas fungsional yang optimal.
Intervensi :
a. Dorong verbalisasi yang berkenaan dengan keterbatasan dalam mobilitas.
b. Kaji kebutuhan akan konsultasi terapi okupasi/fisioterapi :
- Menekankan kisaran gherak pada sendi yang sakit
- Meningkatkan pemakaian alat Bantu
- Menjelaskan pemakaian alas kaki yang aman.
- Menggunakan postur/pengaturan posisi tubuh yang tepat.
c. Bantu pasien mengenali rintangan dalam lingkungannya.
d. Dorong kemandirian dalam mobilitas dan membantu jika diperlukan
- Memberikan waktu yang cukup untuk melakukan aktivitas
- Memberikan kesempatan istirahat sesudah melakukan aktivitas
- Menguatkan kembali prinsip perlindungan sendi

4. Gangguan citra tubuh berhubungqan dengan perubahan dan ketergantungan fisik serta psikologis yang diakibatkan penyakit kronik.
Tujuan : mencapai rekonsiliasi antara konsep diri dan erubahan fisik serta psikologik yang ditimbulkan penyakit
Intervensi :
a. Bantu pasien untuk mengenali unsur-unsur pengendalian gejala penyakit dan penanganannya.
b. Dorong verbalisasi perasaan, persepsi dan rasa takut
- Membantu menilai situasi sekarang dan menganli masahnya.
- Membantu menganli mekanisme koping pada masa lalu.
- Membantu mengenali mekanisme koping yang efektif.

5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit, penumpukan kompleks imun.
Tujuan : pemeliharaan integritas kulit.
Intervensi :
a. Lindungi kulit yang sehat terhadap kemungkinan maserasi
b. Hilangkan kelembaban dari kulit
c. Jaga dengan cermat terhadap resiko terjadinya sedera termal akibat penggunaan kompres hangat yang terlalu panas.
d. Nasehati pasien untuk menggunakan kosmetik dan preparat tabir surya.
e. Kolaborasi pemberian NSAID dan kortikosteroid.

D.Evaluasi
Evaluasi adalah merupakan salah satu alat untuk mengukur suatu perlakuan atau tindakan keperawatan terhadap pasien. Dimana evaluasi ini meliputi evaluasi formatif / evaluasi proses yang dilihat dari setiap selesai melakukan implementasi yang dibuat setiap hari sedangkan evaluasi sumatif / evaluasi hasil dibuat sesuai dengan tujuan yang dibuat mengacu pada kriteria hasil yang diharapkan. Adapunevaluasi yang di harapkan pada klien dengan kasus SLE ( Sistemisc lupus erythematosus ) ialah :
a. Skala nyeri normal dan nyeri berkurang.
b. Aktivitas sehari – hari teratur sesuai kebutuhan dan di sesuaikan dengan kondisi klien.
c. Klien dapat melakukan imobilisasi dalam memenuhi kegiatan sehari – harinya.
d. Integritas kulit kembali normal ( Elastis, Halus dan bersih ).
e. Klien mengerti dan menerima terhadap penyakitnya.






















BABIV
Kesimpulan

A. Kesimpulan
Sistemisc lupus erythematosus ( SLE ) adalah penyakti radang multisistem yang sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik remisi dan eksaserbasi disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoantibodi dalam tubuh adapun tanda dan gejalanya seperti sistem muskuloskeletal, sistem integumen, sistem kardiak, sistem pernapasan, sistem vaskuler, sistem perkemihan, sistem saraf adapun untuk pengobatannya seperti
- Preparat NSAID untuk mengatasi manifestasi klinis minor dan dipakai bersama kortikosteroid, secara topikal untuk kutaneus.
- Obat antimalaria untuk gejal kutaneus, muskuloskeletal dan sistemik ringan SLE
- Preparat imunosupresan (pengkelat dan analog purion) untuk fungsi imun.

B. Saran
Sebagai tenaga propesional tindakan perawat dalam penanganan masalah keperawatan khususnya sistemics lupus erythematosus ( SLE ) harus di bekali dengan pengetahuan yang luas dan tindakan yang di lakukan harus rasional sesuai gejala penyakit.





Daftar Pustaka

http.www.google/sistemics lupus erythematosus.com
MD. Daniel J.Wallace.THE LUPUS BOOK.B first.2007 Jogjakarta
Doenges, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC.
http://www.supari.com
Smeltzer. Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Edisi 8. Volume 3. Jakarta : EGC.
http://perawattegal.wordpress.com/2009/09/01/systemic-lupus-erytematosus-sle-atau-lupus-eritematosus-sistemik-les/
http://wikimediafoundation.org/w/index.php?title=WMFJA026/id&utm_source=20101215_JA013C_US&utm_medium=sitenotice&utm_campaign=20101216JA030&country_code=ID&referrer=http%3A%2F%2Fid.wikipedia.org%2Fwiki%2FLupus_eritematosus_sistemik